Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 21 Juli 2022 dengan link berikut.
https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063938749/dapat-rezekikok-protes
ARI WULANDARI
Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com
Beberapa waktu lalu kampus saya mengadakan acara jalan sehat dalam rangka ulang tahun yang berhadiah doorprize. Namanya juga doorprize, jelas untung-untungan. Mereka yang beruntung sajalah yang mendapatkannya. Doorprizenya siy macam-macam. Mulai dari hadiah remeh temeh sperti voucher belanja 25 atau 50 ribu sampai yang besar; TV 32 inch, mesin cuci, sepeda bermerek, dll.
Tentu setiap orang yang ikut jalan sehat dan mendapatkan kupon undian berharap mendapatkan hadiah yang besar-besar itu. Kalau bisa merekalah yang mendapatkan TV, mesin cuci, sepeda, dll. Sungguh hal yang manusiawi. Saya pun kalau bisa ikut mendapatkan hadiah yang besar.
Sebenarnya doorprize yang dibagikan cukup banyak. Kalau saya tidak salah menghitung, ada sekitar 100-an item. Namun karena peserta jalan sehat sekitar 200 orang, maka dapat dipastikan bahwa 100 orang lainnya tidak akan mendapatkan doorprize.
Itulah sebabnya kalau saya mempunyai hak suara dan ikut memutuskan kegiatan seperti ini, saya meminta panitia untuk menghitung jumlah seluruh peserta. Lalu jumlah hadiah doorprize harus sama dengan jumlah peserta atau lebih. Dengan demikian, semua orang yang berpartisipasi mendapatkan hadiah doorprize. Jadi, semua orang yang ikut serta dapat bergembira dan bersuka cita bersama.
Mulailah sesi pengundian doorprize dimulai. Hadiah-hadiah kecil dibagikan lebih dulu. Saya duduk saja di lantai sambil menikmati munyukan; kacang rebus dan pisang rebus yang disajikan. Lalu seseorang di dekat saya mendapatkan hadiah. Nomor kupon undiannya dipanggil untuk maju dan mengambil hadiah. Tentu hadiahnya masih yang kecil.
Saya tidak tahu wujud hadiahnya karena dibungkus. Tapi yang saya ingat adalah ekspresi si perempuan yang dapat hadiah itu. Lepas dari depan dan hendak duduk kembali, dengan muka masam dibantingnya hadiah tersebut. “Aku kan mau mesin cuci. Kok malah dapat ginian. Huuh…!”
Si Mbak tadi bukannya bersyukur alhamdulillah dapat hadiah, tapi malah protes. Karena hadiahnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Tanggapan orang-orang di sekitarnya pun beragam. Ada yang tertawa. Ada yang mengatakan suruh bersyukur karena dirinya saja tidak mendapat doorprize. Ada yang diam dan tidak menanggapi. Ada yang bilang kalau dia tidak mau, biar hadiahnya buat dirinya saja.
Apakah kamu bisa menghubungkan peristiwa di atas dengan sesuatu? Ya seperti itulah kebanyakan dari kita. Tuhan sudah memberi segala sesuatu kepada kita, bahkan yang tidak kita minta pun diberikan. Tapi alih-alih mensyukurinya, kita lebih sering protes dan cenderung marah-marah. Kita merasa Tuhan tidak adil. Karena Tuhan tidak memberikan seperti apa yang kita inginkan.
Ya, kita sering marah, kesal, kecewa, dll emosi negatif karena kita menginginkan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan. Jadinya hidup kita begitu kemrungsung, ingin ini itu tidak pernah selesai. Kita sibuk mengejar semua hal yang kita inginkan, sampai lupa menikmati dan mensyukuri segala sesuatu yang sudah ada di depan kita.
Dalam hidup ini, keinginan kita yang tidak terkontrol itulah yang menyebabkan banyak masalah. Ada banyak orang terlibat utang berkepanjangan demi gengsi yang tidak pernah membuatnya puas. Ada banyak orang korupsi demi memenuhi ambisinya untuk dianggap sebagai orang kaya raya. Ada banyak kejahatan yang tidak beradab demi memenuhi nafsu angkara murka yang tidak pernah ada titik akhirnya.
Kesadaran bahwa keinginan seseorang tidak akan pernah terpuaskan, kecuali dirinya sendiri yang menghentikan itulah, yang membuat saya menjadi lebih sabar. Saya tidak lagi tergoda untuk iri dengki dengan rezeki orang lain. Saya lebih banyak menikmati hidup dengan segala yang sudah saya miliki. Alhamdulillah, hidup menjadi terasa penuh kebahagiaan dan hal baik.
Mengejar yang belum ada? Iya, pasti. Karena orang hidup harus memiliki tujuan dan target-target agar bersemangat menyongsong hari baru. Saya pun berniat keras mencapai tujuan dan target tersebut dengan kapasitas terbaik saya.
Ketika saya sudah melakukan usaha mati-matian dengan I do my best, ternyata Tuhan tidak memberikannya, saya kalem saja. Oh, bukan rezeki atau belum rezeki. Semuanya menjadi ringan dan tidak berpikir untuk melakukan segala cara demi mendapatkan rezeki yang belum tentu baik bagi saya. Karena saya yakin, kalau sudah rezeki ya pasti akan sampai ke tangan saya. Kalau tidak rezeki, dikejar siang malam pun tetap saja melicin lepas dari genggaman saya.
Hal seperti ini mudah dikatakan, mudah dituliskan. Tapi percayalah, tidak mudah dilakukan. Tidak segampang membalik tangan untuk menjalaninya. Saya belajar terus menerus untuk berusaha “ikhlas” dengan kehidupan. Ini merupakan proses pembelajaran seumur hidup.
Ada masanya juga saya begitu kesal dan marah, bahkan iri dengki dengan pihak lain yang versi saya —tidak bekerja maksimal, tapi mendapatkan banyak. Atau mereka yang terlihat tidak bekerja, tapi hartanya tidak pernah habis tujuh turunan.
Manusiawi? Wajar? Jelas. Ketika saya berusaha mengulik lebih banyak dan lebih dalam, oh, ternyata mereka melakukan banyak hal yang tidak saya tahu. Mereka berperan serta lebih bermanfaat bagi banyak orang daripada saya. Ketika menyadari hal itu, saya menjadi lebih bisa menerima keberuntungan orang lain.
Hidup kadang tidak selalu sesuai logika manusia. Apalagi kalau kita tinggal di lingkungan yang hedonis dan menakar segala sesuatu dengan harta benda. Mereka yang tidak kuat mental, akan cenderung mengikuti arus. Mereka akan mengusahakan dengan segala cara demi bisa pamer harta benda. Dan yang begini ini, tentu ada harga atau biaya yang harus dibayar.
Bagi mereka yang mampu, tentu oke saja. Kalau tidak mampu dan tidak kuat mental, ya pasti akan berusaha bagaimanapun caranya agar terlihat glamour dan mewah. Mereka bahkan tidak peduli kalau utangnya pecicilan di mana-mana. Jadilah saat gajian besar pun, mereka ini tetap tidak bisa tertawa bahagia.
Mengapa? Ya karena gajinya hanya numpang lewat. Begitu masuk rekening, sudah langsung didebet untuk aneka cicilan demi membayari hidupnya agar tampak mewah atau glamour tadi. Orang lain yang menyelamati atas kepemilikan harta kamu yang baru, apakah mereka ikut serta membayari cicilan kamu? Jelas tidak. Bahkan, mungkin mereka sudah tidak ingat lagi dengan harta barumu yang dia selamati. Sementara cicilanmu? Masih berpanjang tahun baru akan lunas.
Hidup adalah pilihan. Ada orang yang hidupnya sederhana, tapi tenang damai. Anak-anak mereka pun sekolah tinggi dan mapan. Mereka bahkan masih bisa membantu kiri kanan dengan banyak kebaikan.
Sementara ada orang yang hidupnya mewah glamour, ternyata tiap hari pusing memikirkan cicilan dan kartu kreditnya. Kadang harus ngutang kiri kanannya untuk nomboki utang lain yang jatuh tempo. Bekerja pun sudah digadaikan demi membayari utang-utang yang digalinya. Jangankan memikirkan untuk bersyukur dan menikmati hidup, mereka yang begini pasti akan selalu beributan cara “meraup banyak uang”.
Saya dengan banyak pengalaman membayar utang orang tua, termasuk yang emoh memikirkan utang dan cicilan. Kalau saya mampu ya beli. Kalau belum mampu ya tidak beli atau cari substitusinya. Prinsip itulah yang membuat hidup saya anteng, tenang damai. Seberapapun rezeki yang saya terima, saya syukuri dengan sukacita.
Bagi saya pribadi, bebas dari utang itu rasanya merdeka. Ya tentu, dalam kehidupan selalu ada masalah dan ujian. Terlebih kalau ada orang yang iyig mulai itung-itungan harta kekayaan. Belum lagi menghadapi kaum nyinyirens dan juliders yang ada di mana-mana.
Menghadapi mereka itu kalau tidak kuat mental, ya kolaps lho kita. Bayangkan, saya saja pernah harus menghadapi CS (customer service) bank yang iyig. Sudah jelas saya mengambil uang tabungan —yang karena jumlahnya banyak, harus ada catatan penggunaan. Jadi ya saya catat: membeli rumah (tentu dengan alamat yang jelas). Dan embuh piye waktu itu kok dari teller saya dipindahkan ke CS.
Nah, si CS ini berulang kali meminta saya untuk tidak mengambil tabungan dan mengganti pembelian rumah dengan KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Wah, manis tenan bujuk rayunya.
“Bu Ari kan bisa memakai uang ini untuk keperluan lainnya. Sudah bisa dapat rumah dengan mendebet 6 jutaan setiap bulan. 20 tahun, nanti tahu-tahu lunas sendiri. Saya uruskan sekarang ya?! Bu Ari tinggal tanda tangan dengan jaminan sejumlah tabungan yang dibekukan.”
Dalam hati saya, mbahmu itu lunas sendiri. Saya berhitung cepat, berapa banyak uang hasil “kerja keras” yang harus saya setorkan ke bank kalau saya ambil KPR? Hampir 400% selama 20 tahun. Tentu saja saya menolaknya. Awalnya saya masih sabar, lama-lama habis waktu.
“Mbak, saya ini mengambil uang tabungan sendiri. Riwayat penabungan saya sedikit demi sedikit juga bisa dilacak dari transaksi bank. Saya mau KPR kalau harganya sama dengan harga sekarang, tanpa bunga, tanpa penalty. Kalau begitu, saya urus sekarang. Kalau tidak, keluarkan uang itu. Sampeyan menyalahi aturan melayani nasabah dengan ramah, cepat, praktis, efektif dan efisien.”
Akhirnya saya pun “dilepaskan” untuk mengambil uang tabungan. Petugas kok iyig. Saudara saya ngakak pas saya cerita hal ini. Kalau saya mau KPR, dia kan dapat komisi. Banknya dapat pendapatan rutin selama sekurangnya 20 tahun. Iya betul. Mereka itu sebenarnya memeras keringat kerja keras kita puluhan tahun dengan balutan kosakata yang aduhai manis sekali. Kita saja yang sering tidak berdaya menghadapi tuntutan gaya hidup, karena pemikiran yang kurang pas.
Saya pun kadang merasa hidup saya kok mung begitu-begitu saja ya?! Setelah saya hitung-hitung lagi, ya tidak begitu juga. Selalu ada penambahan-penambahan yang karena sedikit demi sedikit, menjadi tidak terasa. Saya bekerja dengan tenang, tidak ngoyo karena tidak ada tuntutan membayari cicilan atau utang.
Nah, kamu jenis penerima rezeki yang mana? Yang selalu protes kalau dapat rezeki karena tidak sesuai dengan keinginanmu? Atau mensyukuri dan menikmati semuanya yang ada? Silakan cek diri masing-masing.
Mungkin saja, hidupmu selalu banyak masalah karena kamu kurang mensyukuri semua yang sudah ada. Kamu terlalu sibuk mengejar yang belum ada. Hidup adalah pilihan. Kalau pilihanmu tidak membuatmu bahagia, sepertinya kamu perlu melakukan evalusi mendalam. ****