Apa Potensi Dirimu?

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Rabu, tanggal 29 Juni 2022 dengan link berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063771978/apa-potensi-dirimu

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Saya introvert tulen. Karakter dasarnya pendiam dan soliter. Karenanya pekerjaan yang bersifat individu sangat mudah saya lakukan: membaca, menonton film, menulis, melukis, memotret, lari, jalan cepat, travelling, dll. Beruntung, saya memiliki orang tua yang menyadari minat saya pada dunia tulis menulis. Mereka memberikan dukungan penuh pada saya untuk mengembangkannya. Jadi, sejak belia (10 tahun) saya sudah menjadi penulis profesional yang dibayar sesuai dengan publikasi karya.

Dengan karakter itu, dari SD, SMP, SMA, saya tidak punya banyak teman dekat. Sahabat saya paling hanya dua atau tiga orang. Saya berkawan dengan teman-teman lainnya, tapi yang dekat hanya sedikit. Toh itu tidak jadi masalah. Sepulang sekolah, saya berjumpa saudara-saudara, orang tua, keluarga kerabat, dan tetangga-tetangga .

Saat saya mulai kuliah di Jogja, orang tua mengalami kebangkrutan usaha. Barulah saya menyadari ada masalah dengan karakter introvert. Saya harus bekerja dan berurusan dengan orang lain. Menurut saya, kalau bekerja partimer di tempat orang lebih banyak ribetnya. Selain tidak fleksibel soal waktu, honornya juga kecil. Padahal saya memerlukan uang lebih banyak untuk tetap bisa kuliah tanpa biaya dari orang tua.

Akhirnya, saya berusaha berbicara dengan baik agar bisa berdagang. Karena kepepet atau terpaksa, akhirnya saya bisa juga berdagang barang-barang kerajinan marmer. Pemilihan barang kerajinan kerajinan marmer karena inilah barang-barang yang boleh saya ambil dulu tanpa menaruh uang atau jaminan. Sekedar kepercayaan karena bapak saya mengenal pemiliknya.

Dari sana saya pun mulai belajar tentang “berbicara yang baik”. Ilmu public speaking  pada waktu itu mungkin belum semaju sekarang, tetapi jelas ada. Saya berguru pada orang-orang yang saya anggap mumpuni tentang berbicara pada orang lain untuk berbagai kepentingan. Sejak belia saya menyadari bahwa mengetahui “ilmu dasar” tentang sesuatu itu sangat penting. Termasuk kemampuan berbicara. Terlebih karena saya mengetahui karakter saya introvert, berbicara kepada orang lain dan tampil di depan umum; itu bukan hal yang mudah.

Saya perlu berulang belajar dan mendorong diri lebih banyak —dibandingkan dengan mereka yang dasarnya extrovert dan suka berbicara atau tampil di depan umum. Semua memerlukan ilmu dan teknik yang berbeda. Tentu, ini bukan hal yang mudah untuk saya. Namun saya mengingat satu hal, kalau saya tidak bisa berbicara dan meyakinkan pihak lain, bagaimana saya bisa menjual barang dagangan saya dan mendapatkan untung?

Ketakutan tidak memiliki uang cukup dan tidak bisa melanjutkan kuliah, ternyata lebih besar daripada ketakutan saya berbicara kepada orang lain atau menyampaikan presentasi kepada pihak lain. Dan inilah yang kemudian mendorong saya bisa berbicara dengan baik. Secara terstruktur dan sistematis, lebih seperti pada saat saya menulis.

Setelah mulai berdagang dan mendapatkan uang lebih banyak itu, saya mulai mengenali karakter saya lainnya. Ternyata saya senang berbagi pengetahuan atau ilmu. Itulah yang mengantar saya menjadi guru privat untuk anak-anak SD, SMP, SMA. Wah, dulu kalau guru privatnya mahasiswa UGM —wes, orang tua murid-murid saya juga berharap anak-anak mereka kelak bisa kuliah di UGM. Jadi, cukup makmurlah saya jadi guru privat waktu itu. Belum lagi kalau orang tua si murid baik hati; suguhan makan minumnya lebih mahal atau lebih banyak dari honor saya. Kesenangan berbagi ilmu inilah yang membuat saya sering jadi guide dadakan di Candi Borobudur. Saya banyak mempelajari sejarah candi-candi nusantara dan ingin membagikan kepada mereka yang tidak tahu. Jadi guide bisa menjadi sarana itu dan saya pun mendapatkan fee yang layak.  

Kondisi ekonomi orang tua sayalah, yang mendorong saya untuk mengidentifikasi dan mengkomersialkan kemampuan diri. Dengan berdagang, saya mendapat untung. Dengan mengajar dan jadi guide, saya mendapat fee. Dengan menulis, saya mendapat honor. Dari pekerjaan-pekerjaan itulah saya bisa punya banyak duit selagi mahasiswa.

Sebenarnya uang dari penulisan cerpen cukup banyak, tapi karena kapan datangnya honor tidak menentu; agak sulit bagi saya mengatur uang. Selain itu, saya merasa harus berbagi dengan saudara saya dan orang tua yang sedang kesulitan ekonomi. Saya merasa turut bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka. Saya ikut senang kalau bisa turut membantu urusan keperluan mereka.

Keterampilan saya berbicara itu ternyata bermanfaat ketika saya bekerja menetap di Penerbit dan PH (Production House). Ketika saya memutuskan untuk menerbitkan atau memvisualkan karya sebagai sinetron atau film, itu berarti saya harus siap mempresentasikan karya tersebut di depan direktur atau produser.

Dan apakah mereka cukup punya banyak waktu? Tidak. Kadang mereka hanya memberikan waktu lima menit. Kalau dalam lima menit, saya tidak bisa menunjukkan seluruh isi materi dan daya tariknya suatu tulisan, maka program tersebut bisa ditolak alias tidak diterbitkan ataupun tidak difilmkan.

Dulu, jadi penulis saya anggap bisa bekerja sendirian dalam diam dan tidak berurusan dengan pihak lain. Dalam perkembangannya, ternyata tidak demikian. Saya harus ikut mempromosikan karya yang sudah dipublikasikan. Saya perlu mengisi bedah buku, komunikasi tatap muka dengan pembaca, book signing, mengisi workshop-workshop penulisan, mempresentasikan karya di depan klien atau sponsor, dll.

Ternyata jadi penulis tetap harus berbicara dan bekerja sama dengan pihak lain. Saat menulis kita memang sendirian dan sunyi, tapi kalau sudah berurusan “menjual” karya tulisan, kita tetap harus berbicara dan berurusan dengan pihak lain. Tentu ini kalau ingin tetap survive sebagai penulis profesional dalam waktu yang lama.

Akhirnya, saya jadi terbiasa. Saya sudah happy saja mengerjakan semua aktivitas itu. Berbicara di depan umum yang dulu sangat saya hindari, sekarang sudah jadi kebiasaan. Sudah tidak terhitung lagi saya berbicara di depan kelas, presentasi karya, promosi buku/sinetron/film, mengisi kelas-kelas penulisan, memberi kuliah, dll.

Kalau harus jujur, maka saya tetap lebih nyaman bekerja di balik layar dalam sunyi. Tampil-tampil di depan umum dan berbicara untuk banyak orang, bukanlah kesenangan saya. Karena tuntutan karir begitu, saya pun harus melakukannya dengan gembira. Orang lain yang mengenal saya belakangan, mungkin tidak menyadari bahwa karakter saya introvert tulen.

Nah, bagaimana dengan kamu? Apakah kamu sudah mengetahui dengan pasti potensi dirimu? Atau selama ini kamu bekerja dan memilih karir karena tidak ada pilihan lainnya?

Tidak setiap orang bisa mengetahui minat dan potensi dirinya. Kalau masih muda belia, dan kamu merasa ragu-ragu atas minat dan potensimu; sebaiknya datang ke psikolog. Kamu bisa konsultasi dan menjalani serangkaian tes pemeriksaan untuk menentukan minat dan potensi dirimu? Tentu saja tidak gratis. Langkah ini akan membantumu untuk memilih jalur karir yang bisa melejitkan potensimu.

Seseorang yang punya minat bakat dan memilih jalur kerja yang sesuai, pasti berbeda dengan mereka yang salah arah. Sebenarnya rasa suka terhadap bidang yang ditekuni itulah yang terpenting. Dengan demikian, kalau ada tantangan, hambatan, bisa tetap bertahan untuk menentukan solusinya. Sementara kalau tidak memiliki minat, persoalan kecil pun bisa membuat orang patah semangat.

Bagaimana kalau kamu merasa sudah terlambat dan kelewat umur untuk alih jalur karir? Mau pindah kerja, rasanya kok sudah mapan dan di bidang lain belum tentu menjanjikan? Ya tidak apa-apa bertahan di pekerjaan yang sudah lama ditekuni. Ini kan pilihan masing-masing.

Ada juga orang yang merasa bahwa pilihan karirnya tidak sesuai minat bakatnya. Dia tetap bekerja di bidang tersebut, sambil berinvestasi dan mengasah keterampilan di bidang yang sesuai minatnya. Ketika dia sudah siap dan mampu, dia memilih pensiun dini dan memulai karir sesuai pilihan hatinya. Ada pula yang memutuskan memulai karir di bidang sesuai minatnya saat dia pensiun.

Semua itu tinggal pilihan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan pilihan setiap orang. Setiap pilihan ada konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan. Karenanya tidak bijak, mencampuri pilihan dan pandangan orang lain.

Namun dengan tulisan ini, saya ingin mengajak setiap orang —terutama generasi muda untuk lebih mengenal potensi dirinya. Dengan mengidentifikasi minat, bakat, dan kemampuan masing-masing, ia bisa lebih pas dan tepat dalam memilih pekerjaan atau karirnya. Sekurangnya dengan memilih jalur karir atau pekerjaan yang sesuai dengan minatnya, peluang untuk sukses itu jauh lebih besar.

Adanya minat pada bidang yang ditekuni, juga akan mendorong seseorang untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik. Mereka akan berkembang lebih pesat daripada mereka yang berada di bidang tersebut karena salah jalur atau tidak sesuai dengan minatnya.

Pengetahuan seperti ini, belum banyak kita sadari. Para orang tua pun, kadang tidak peduli dengan urusan begini. Kadang-kadang sudah sampai hendak pemilihan kampus (tingkat sarjana) yang berarti lebih pada keahlian spesifik, seorang anak pun belum tahu bidang apa yang menarik hatinya.

Hal ini terjadi karena selama pendidikan SD, SMP, SMA, mereka menjalani sekolah secara standar. Mereka mengikuti kurikulum pendidikan kita yang meluas ke banyak urusan. Orang tuanya pun terlalu sibuk untuk memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Guru tidak sempat pula karena beban tugas yang terlampau banyak. Belum lagi urusan di rumah tangga masing-masing.

Jadinya, ketika mau kuliah anak-anak pun gamang. Mereka tidak tahu harus memilih jurusan apa. Mereka baru bertanya-tanya, mau kuliah di mana dan jurusan apa. Betapa banyaknya waktu yang terbuang, sehingga mereka tidak sempat mengasah minat bakatnya secara maksimal.

Berbeda dengan anak-anak yang berada di lingkungan dengan kesadaran “membangun masa depan” lebih baik. Orang tua, guru akan mendorong dan mengarahkan setiap anak untuk mengidentifikasi minat bakatnya. Sedari dini, mereka diajak mengenal potensi dirinya. Setelah itu, orang tua dan guru akan mendukung anak-anak ini untuk mengembangkan minat dan bakatnya.

Dengan demikian, minat bakat tersebut akan menjadi keterampilan praktis atau keahlian khusus untuk survive di masa depan. Anak-anak yang berasal dari lingkungan seperti ini, umumnya memiliki keahlian dan menguasai medan kerja dengan sangat baik. Bekerja dengan lebih baik, berarti pendapatan yang lebih banyak, dan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain.

****

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *