Sepasaran: Selamatan Bayi 5 Hari

Artikel ini telah dipublish di nongkrong.co pada hari Sabtu, 4 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313520333/sepasaran-selamatan-bayi-5-hari

Sesuai namanya selamatan sepasaran dilakukan setelah 5 hari kelahiran si bayi karena dalam kehidupan orang Jawa mengenal 5 hari, yaitu legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Kalau bayi lahir di pasaran legi, maka sepasarannya pada hari legi berikutnya.

Pada umumnya untuk orang Jawa yang memahami tradisi Jawa, mereka tidak akan melakukan selamatan persis di hari H. Mereka kadang memundurkan 1 atau 2 hari dari hari yang semestinya. Hal ini bukan karena mereka tidak mempersiapkan selamatan bayi pas pada harinya, tapi mereka lakukan dengan sengaja.

Tujuan penundaan itu agar kelak si bayi tidak selalu memaksakan keinginan saat itu juga. Dalam bahasa Jawa hal itu disebut dengan sakdeg saknyet, seketika memiliki keinginan harus dituruti saat itu juga. Dengan menunda acara selamatan sepasaran, diharapkan si bayi lebih sabar dan lebih bertenggang rasa terhadap berbagai situasi di kemudian hari.

Menu wajib pada sepasaran adalah (a) nasi tumpeng, (b) nasi golong sebanyak tujuh dengan lauk pauk gudhangan, ayam panggang, telur rebus, dan sayur lodeh keluwih, (c) pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir), (d) jajan pasar, (e) bubur abang putih (bubur merah putih), (f) nasi gudangan (nasi satu piring komplit dengan sayur dan lauk pauknya), dan (g) iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Pertama, Nasi Tumpeng.

Nasi tumpeng melambangkan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Semakin menjulang tumpengnya diharapkan semakin tinggi, baik, sejahtera kehidupan si bayi.

Tumpeng itu sebenarnya singkatan dari “tumapaking penguripan-tumindak lempeng tumuju Pangeran”. Kalau diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti bahwa manusia itu harus menginjak kehidupan dan bertindaksecara baik dan benar, karena nantinya akan mempertanggungjawabkan semua tindakan dan perbuatannya pada saat kembali kepada Tuhan.

Sebagaimana diketahui orang Jawa memiliki agama asli yang disebut Kejawen. Mereka ini percaya adanya kekuatan gaib di luar manusia yang mengatur kehidupan dan semesta jagad raya. Oleh karena itu, mereka wajib memelihara hubungan tersebut agar tetap seimbang.

Salah satunya dengan cara mengadakan selamatan dengan tumpengan dan memakannya secara bersama-sama atau biasa disebut dengan kenduri. Acara kenduri biasanya menghidangkan tumpeng yang dikelilingi lauk pauk dan aneka jenis makanan lain sesuai dengan hajatannya.

Penempatan tumpeng dan lauk pauk nya menyimbolkan gunung dan tanah yang subur. Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut dikaitkan dengan gunung, yang berarti tempat sakral oleh masyarakat Jawa. Nasi yang menjulang ke atas merupakan simbol harapan agar kehidupan kita meningkat.

 Sementara tanah di sekeliling gunung disimbolkan dengan lauk pauk yang bervariasi. Tanah yang subur akan menjadikan kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Tumpeng juga mempunyai makna kebersamaan , hal ini terbukti bahwa orang menyajikan tumpeng jika ada acara atau upacara yang disertai dengan makan bersama.

Kedua, nasi golong.

Nasi golong adalah nasi yang berbentuk bulat seperti bola tenis. Dalam tradisi Jawa adanya nasi golong ini memiliki makna kebulatan tekad yang manunggal atau kalau dalam bahasa Jawa ada istilah golong giling —menjadi satu dalam tekad.

Jumlah nasi golong ini ada tujuh yang berarti menjadi tujuh pasang atau disajikan sebanyak empat belas nasi golong. Secara filosofis nasi ini memiliki makna sebagai bentuk penghormatan kepada Allah SWT yang menciptakan alam seisinya. Selain itu kata tujuh dalam bahasa Jawa berarti pitu yang sering diasosiakan sebagai pitulungan atau pertolongan. Berarti secara sadar oang Jawa bermohon pertolongan kepada Tuhan Yang Kuasa.

 Ketiga, pisang raja setangkep (pisang raja dua sisir).

Pisang raja dua sisir ini melambangkan adanya tangan yang menghadap ke atas. Setangkep bila dilihat akan seperti tangan yang sedang memohon atau berdoa. Hal ini memang merupakan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan anugerah, keselamatan, dan kebahagiaan sepanjang hidup si bayi.

Keempat, jajan pasar.

Sebagaimana jenisnya yang beragam, jajang pasar menyimbolkan warna-warni kehidupan yang akan dihadapi si bayi kelak. Dalam selamatan sepasaran, biasanya orang Jawa menyajikan jenis jajanan pasar yang berbeda dari selamatan brokohan.

Biasanya yang ada di dalam setiap selamatan sebanyak tujuh jenis, dengan rasa yang berbeda. Rasa yang disajikan dalam jajanan pasar itu sekurangnya sudah mencakup manis, asam, asin, pahit, dan pedas.

Kelima, bubur abang putih (bubur merah putih).

Bubur merah putih selain menjadi representasi lelaki dan perempuan, juga sering dianggap sebagai simbol kehidupan. Bahwa dalam kehidupan ini tidak hanya ada hal yang baik, tetapi juga ada yang kurang baik. Dengan kebijaksanaan dan kerukunan terhadap sesama, persoalan yang rumit pun pasti bisa diselesaikan dan diatasi dengan baik.

Keenam, nasi gudangan. 

Setipe dalam acara selamatan brokohan, nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan sepasaran ini pada prinsipnya adalah peneguhan permohan dari orang tua si bayi kepada Tuhan agar si anak diberikan kehidupan yang berbahagia.

Dalam proses menjalani kehidupan tersebut, si anak kelak diharapkan dapat menghidupi dirinya dan keluarga secara mandiri. Kehidupan yang dibangun secara baik dan mandiri akan menghasilkan kehidupan yang tenteram lahir batin.

Kedamaian lahir dan batin diharapkan akan membawa kehidupan yang damai sejahtera, makmur, bahagia di dunia dan akhirat.

Nasi gudangan pada prinsipnya melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketujuh,  iwel-iwel (jajanan berasal dari ketan dan gula merah).

Adanya iwel-iwel ini merupakan akulturasi dari budaya Islam yang mempengaruhi pemikiran orang Jawa. Konon para tetua orang Jawa mengatakan kalau iwel-iwel itu adalah simbol dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah yang berarti tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Orang Jawa mengakui sepenuhnya bahwa dirinya tidak berdaya, sementara yang kuat dan berdaya itu hanyalah Allah SWT.

Lalu sebagai simbol terhadap pengungkapan pengakuan terhadap tersebut, lalu dibuat olahan iwel-iwel ini. Dalam versi saya, pernyataan para tetua atau sesepuh orang Jawa ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Karena kata iwel-iwel itu sangat jauh dari ungkapan la haula wala quwwata illah billah.

Bagaimana prosesnya dari pernyataan pengakuan kekuatan Tuhan dalam bahasa Arab yang cukup panjang la haula wala quwwata illah billah itu, hingga menjadi singkat ringkas padat iwel-iwel ini, hampir semua informan saya mengatakan tidak mengerti. Mereka hanya mengatakan tahunya seperti itu.

Makanan iwel-iwel yang berasal dari ketan yang sudah ditumbuk dicampur dengan garam dan kelapa parut, di bagian tengahnya diberi gula aren, dibungkus dengan daun kelapa. Selanjutnya dikukus hingga matang. Secara sederhana ini mirip jajanan pasar lainnya. Namun saya pribadi agak kesulitan menemukan jenis iwel-iwel ini di pasar tradisional.

Para pedagang jajanan pasar umumnya mengatakan tidak berani bikin sembarangan, takut kuwalat. Jajanan yang menurut mereka simbol ketuhanan. Wah, saya mau tertawa takut kuwalat juga sama orang tua. Diam-diam saya bersyukur karena masih ada sebagian orang Jawa yang ngugemi adat tradisinya dan patuh pada “petuah para tetua”, termasuk tidak membuat iwel-iwel secara sembarangan.

Padahal dengan kemajuan industri pariwisata budaya, sudah banyak juga kuliner sakral yang kemudian bisa dikonsumsi setiap hari. Misalnya ingkung ayam, tumpeng, nasi berkat, dll. Sekarang itu bukan lagi kuliner sakral, tapi bisa dibeli atau ditemukan di banyak tempat wisata di Jawa.

Bisa jadi nantinya iwel-iwel juga akan mudah ditemukan di tempat orang berdagang jajanan pasar. Mungkin saja selama ini peminat atau pembelinya kurang, atau proses pembuatannya yang tidak cukup mudah, membuat makanan ini agak sulit ditemukan di pasar tradisional.

Secara umum itulah menu wajib yang ada dalam selamatan sepasaran bayi. Semua menu tersebut kemudian diberikan doa atau permohonan berkat oleh tetua atau sesepuh di kalangan keluarga tersebut. Setelah itu nasi berkat akan dimakan bersama-sama dan sebagian dibagikan kepada kerabat maupun tetangga-tetangga. Orang Jawa biasanya senang mengadakan acara selamatan. Ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berbagai karunia-Nya.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *