Selapanan: Selamatan Bayi 35 Hari

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 11 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313594215/selapanan-selamatan-bayi-35-hari

Selapanan adalah selamatan bayi yang berumur 35 hari. Seperti acara selamatan bayi brokohan maupun sepasaran, selamatan ini pada prinsipnya merupakan acara syukuran dan permohonan doa kepada Tuhan YME demi keselamatan dan kebahagian si bayi.

Pada saat bayi berumur 35 hari, orang Jawa mengadakan selamatan karena menganggap bayi sudah mulai terbiasa hidup di alam dunia. 35 hari yang berarti jumlah pasaran (5 hari —legi, pahing, pon, wage, kliwon) orang Jawa sebanyak tujuh kali atau ping pitu, yang berarti pitulungan atau pertolongan. Artinya si bayi ini dalam pandangan orang Jawa dianggap sudah “selamat” di dunia dan diharapkan akan terus hidup panjang umur mengarungi kehidupan di dunia.

Dalam selamatan selapanan, ubarampe atau perlengkapan yang harus disiapkan tidak hanya makanan, seperti pada selamatan brokohan dan sepasaran. Pada acara ini ubarampe yang harus disiapkan ada sembilan macam, yaitu (1) tumpeng, (2) sayur 7 macam, (3) telur ayam rebus 7 butir, (4) cabai, bawang merah, dan bawang putih, (5) nasi gudangan, (6) kalo ‘saringan santan dari bambu’, (7) buah-buahan sebanyak 7 macam, (8) bubur merah putih 7 porsi, dan (9) kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga). Setiap ubarampe tersebut menjadi simbol sesuatu dan memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, tumpeng.

Secara umum keberadaan tumpeng ini melambangkan hubungan vertikal antara manusia dengan Kang Akarya Jagat atau Tuhan YME. Semakin baik dan tinggi tumpeng yang dibuat, menandakan harapan agar hubungan manusia dengan Tuhannya pun dari waktu ke waktu semakin baik.

Tumpeng juga menjadi simbol permohonan manusia kepada Tuhan untuk memperoleh kehidupan yang lebih anteng, hidup yang tenang, damai, sejahtera, bahagia lahir batin dunia dan akhirat. Permohonan itu disuarakan melalui doa bersama, sebelum makan bersama-sama dalam acara kenduri.

Dalam banyak prosesi ritual orang Jawa sering menggunakan tumpeng ini, baik tumpeng yang berwarna putih atau tumpeng berwarna kuning. Selain menyimbolkan permohonan kehidupan yang baik, tumpeng juga dianggap sebagai perwujudan dan pengakuan manusia berada di bawah dan Tuhan berada di atas. Puncak tumpeng yang menjulang melambangkan ketinggian (gunung) dan tempat Tuhan berada. Sementara lauk pauk yang mengelilingnya menunjukkan orang Jawa sebagai masyarakat yang mengelilingi gunung. Tanah di sekitar gunung juga dianggap sebagai tanah yang paling subur dan membawa kemakmuran bagi semesta.

Kedua, sayur 7 macam.

Sayur 7 macam ini bebas jenisnya, tetapi harus ada kangkung dan kacang panjang. Kangkung menjadi simbol permintaan agar si bayi terus jinangkung atau terjaga dalam pemeliharaan Tuhan. Sementara kacang panjang merupakan simbol permohonan agar si bayi panjang umur.

Beragam sayur yang ada biasanya sawi, buncis, bayam, labu, kenikir, dll. Aturannya, semua sayur tersebut dibersihkan dan dipotong sewajarnya, lalu direbus sampai matang dan disajikan bersama nasi tumpeng. Sayur 7 macam ini menyimbolkan agar kelak si bayi dapat hidup seperti sayur-sayuran itu. Mudah tumbuh, mudah membaur di segala situasi, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Hal tersebut sepertinya tepat digambarkan dengan sayur mayur. Karena tanaman sayur cenderung mudah ditanam, sering dipanen, dan bermanfaat untuk semua orang. Kalaupun ada orang yang tidak suka sayur, tapi pasti tidak ada orang yang tidak pernah makan sayur seumur hidupnya.

Ketiga, telur ayam rebus 7 butir.

Telur ayam yang digunakan dalam selapanan ini harus direbus sampai matang karena ini memiliki makna tersendiri. Telur ayam saat mentah kondisinya rapuh, mudah pecah, dan membawanya pun harus berhati-hati. Namun setelah direbus, telur ayam cenderung lebih kuat. Tidak perlu terlalu berhati-hati saat membawanya, karena tidak akan pecah.

Telur rebus menandakan agar si bayi kelak dapat menggodog pemikirannya sebelum melakukan sesuatu. Dengan menaikturunkan pandangannya, melihat segala sesuatu dari segala sisi, diharapkan tidak akan menghasilkan pemikiran dan tindakan yang baik dan tidak mudah goyah.

Adanya simbol telur ayam rebus sebanyak 7 butir menjadi penanda bahwa kelak si bayi ini diharapkan menjadi orang yang mumpuni. Dia menjadi orang yang teliti, cermat, berwawasan, dan mau memperhatikan pendapat atau pemikiran orang lain. Intinya, si bayi diharapkan menjadi orang yang berkepribadian baik dan tangguh.

Keempat, cabai, bawang merah, dan bawang putih.

Cabai, bawang merah, dan bawang putih ini nerupakan bumbu dasar di dapur. Kalau sudah ada ketiga komponen ini, memasak apa saja pun akan jadi. Jadi dengan keberadaan ketiga bumbu dapur pada acara selapanan, diharapkan si bayi sekurangnya memiliki manfaat dasar dalam kehidupan. Dia menjadi mandiri, tidak menjadi tanggungan orang lain, dan bermanfaat bagi sesamanya.

Orang Jawa memang lebih senang mengatakan sesuatu dengan simbol-simbol, kiasan-kiasan. Bahkan dalam pitutur luhur pun mereka menggunakan banyak metafora untuk menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu, berhadapan dengan orang Jawa kadang kita pun perlu “memikirkan” maksud dari sesuatu. Kadang-kadang yang disampaikan tidak selalu sama dengan yang diharapkan atau diinginkan.

Kelima, nasi gudangan. 

Nasi gudangan terdiri dari nasi putih dan sayur beserta lauk pauknya. Adanya nasi gudangan dalam selamatan selapanan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dalam selamatan selapanan ini, nasi gudangan tetap ada seperti selamatan brokohan dan sepasaran karena pentingnya seseorang untuk tetap urup —simbol dari urap (bumbu gudangan). Seseorang dalam pandangan orang Jawa bisa urup itu kalau urip ‘hidup’ dengan baik, bisa menghidupi dirinya sendiri, saat berkeluarga mampu menafkahi keluarganya. Ini merupakan filosofi yang sangat dalam bahwa orang Jawa pada prinsipnya memegang konsep kemandirian dalam kehidupan.

Keenam,  kalo (saringan santan dari bambu).

Kalo atau saringan santan dari bambu ini menyimbolkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan itu tidak harus diterima seluruhnya. Seseorang perlu menyaring dengan saringan yang terlihat ringan, tidak berdaya, tidak berat, tetapi sangat bermanfaat seperti kalo.

Segala bentuk pemikiran, pembicaraan, perilaku, dll peristiwa yang terjadi dari luar, sebaiknya diterima dengan hati dan pikiran yang jernih. Semua dapat diterima dengan objektif, lalu dengan pemikiran dan akal budinya yang baik, menyaring, memilah, dan memilih mana saja yang hendak diikuti dan mana yang perlu diabaikan atau ditinggalkan.

Ketujuh, buah-buahan 7 macam.

Buah-buahan 7 macam dalam acara selapanan ini jenis buahnya bebas. Setiap keluarga boleh memilih buah-buahan yang mereka sukai, seperti pisang, pepaya, apel, anggur, jambu, delima, sawo, dll. Buah dalam selapanan menunjukkan harapan bahwa seseorang itu harus “berbuah”. Maksud dari berbuah ini dalam hidupnya, seseorang harus bermanfaat bagi orang lain, menghasilkan “buah” yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan oleh orang lain.

Buah dalam hal ini bisa berupa banyak hal, dari pemikiran yang bermanfaat, membuka lapangan kerja untuk orang lain, penemuan-penemuan penting, dll. Prinsip dari “berbuah” tersebut sebenarnya wujud tuntutan dan pengharapan orang Jawa, bahwa setiap orang itu harus menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sekurangnya, dia harus mandiri, seterusnya bisa memandirikan orang lain —terutama orang-orang terdekat dan atau keluarganya.

Kedelapan, bubur merah putih 7 porsi.

Bubur merah putih menjadi simbol kehidupan dalam pandangan orang Jawa. Bubur merah putih sering dianggap sebagai adanya hitam putih kehidupan. Ketika seseorang menjalani kehidupan di dunia, tidak selamanya ia berurusan dengan hal yang baik, tetapi juga menghadapi hal-hal yang kurang baik.

Bubur merah putih juga merupakan simbol persatuan, kerukunan antar manusia. Dengan kerukunan yang kokoh, diharapkan manusia dapat menghadapi segala persoalan hidupnya dengan lebih mudah.

Kesembilan, kembang setaman  (mawar merah, mawar putih, kembang kanthil, melati, dan kenanga).

 Kembang setaman atau serangkaian bunga ini sangatlah harum. Semua unsur bunga yang dipilih dalam kembang setaman merupakan bunga-bunga dengan keharuman yang khas. Kembang setaman dalam selapanan merupakan simbol dan pengharapan agar si bayi mewarisi keharuman ilmu dari leluhurnya.

Keharuman ilmu tersebut berupa nasihat, pitutur luhur Jawa, pelajaran dan ilmu kehidupan, berkah, dan kekayaan batin spiritual. Dengan demikian, si bayi ini dalam hidupnya tidak melangkah dalam kekosongan jiwa. Setiap jejak langkah kehidupannya telah mengikuti ilmu warisan dari leluhur. Harapannya dengan ilmu kehidupan itu, si bayi akan menjadi manusia yang lebih baik.

Itulah ubarampe selamatan selapanan bayi. Setelah semua siap, semua akan dihajatkan oleh tetua atau siapa yang dianggap pinisepuh di keluarga tersebut. Si bayi yang hendak diupacara selapanan sebaiknya berada di dekat seluruh ubarampe tersebut. Setelah itu, barulah dibacakan doa dan kemudian makan bersama-sama.

Adapun tata cara membacakan doanya sebagai berikut:

Doa berupa syukur kepada Tuhan YME.  Permohonan doa ampunan kepada Tuhan YME untuk seluruh leluhur keluarga. Kemudian mohon keselamatan si bayi dan seluruh keluarga.

Acara ini sebaiknya dihadiri minimal 7 orang sebagai simbol pitulungan atau pertolongan dari Tuhan YME. Lebih baik lagi kalau 11 atau sewelas yang berarti mendapatkan belas kasih dari Tuhan YME. Kalau memungkinkan jumlahnya minimal 17 orang yang berarti pitulas mendapatkan pitulungan dan kewelasan dari Tuhan YME. Setelah doa dan makan bersama itu, sebagian nasi berkat akan dihantarkan kepada tetangga dan kerabat dekat.

Seperti itulah prinsip-prinsip selamatan selapanan bayi. Semuanya bertujuan untuk bersyukur dan bermohon doa keselamatan bagi si bayi dan seluruh keluarganya. Sebagian besar orang Jawa masih melaksanakan tata cara ini, meskipun banyak yang lebih pada pemenuhan syarat.

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *