Jangan Omong Besar

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Kamis, 26 Mei 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063472803/jangan-omong-besar

Suatu waktu –sebut saja A cerita bahwa omzet UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)-nya antara Rp 2-5 juta per hari. Saya berhitung cepat dengan harga jual produk Rp 10 s/d 50 ribu per item, sekurangnya omzet Rp 2 juta sehari dengan produk Rp 10 ribuan (katanya paling laris) berarti butuh 200 paket. Belum kalau omzetnya lebih dari Rp 2 juta. Dengan omzet Rp 2 juta sehari, berarti sebulan minimal omzetnya Rp 60 juta. Keuntungan anggaplah 30% dari omzet, berarti ada Rp 18 juta sebulan. Wah, itu sudah penghasilan makmur untuk hidup di Jogja.

Jelas kinerja yang sibuk: datangnya bahan produksi, pembuatan produk, penjualan yang ramai, packing yang banyak, alur pengiriman barang via pasukan oranye dan pasukan ijo (kurir marketplace), atau pasukan warna gado-gado (kurir non marketplace) yang akan bolak-balik, orang bekerja, dll.

Saya sempat bertanya pada A tentang tempat usahanya. Dia bilang semua dilakukan dari rumahnya dengan penjualan online. Toh yang saya saksikan adalah rumahnya yang sepi, kotor, dan tidak terurus. Nyaris tanpa kesibukan sebagai UMKM dengan omzet Rp 2-5 juta sehari.

Tidak sesuai dengan ombes —omong besarnya. Saya nyaris lupa dengan cerita itu. Sampai saya lihat ada tanda segel dari bank bahwa rumah si A dalam masa penyitaan. Catatan dari bank tertempel di dinding rumah. Pihak yang bersangkutan sudah lama tidak membayar cicilan KPR (Kredit Perumahan Rakyat)-nya. Menurut saya, horor juga ya peringatan dari bank model begini.

Kening saya sempat berkerut. Bank menyita rumah KPR tentu tidak karena satu atau dua bulan menunggak cicilan, pasti berbulan-bulan. Saya mengabaikan fakta tersebut dan menganggap usahanya sedang kena ujian.

Sampai seorang kawan saya —sebut saja B yang lama tidak ketemu, menelpon dan bilang mau mampir. Saya senang dengan kawan ini. Praktis, tidak banyak omong. Versi saya, dia sudah banyak memberdayakan orang dan keluarga miskin menjadi mandiri dan sejahtera melalui usaha-usahanya.

Kawan saya ini ternyata membeli rumah si A sebagai bentuk kepeduliannya agar si A punya cukup uang modal usaha dan rumah tidak disita bank. “Sudah aku lunasi utang banknya. Daripada pikiran, Ri. Ini aku urus balik namanya. Kudu minta surat-surat dari perangkat desa. Kusuruh pindah dalam tiga bulan, dia minta ngontrak setahun. Ntar mau dibeli lagi. Kalau dia pindah siy, kurobohin aja. Bangun baru untuk tempat usaha.”

Saya bilang ooo… dan tidak membahas cerita si A pada saya dengan si B. Ternyata cerita belum usai. Beberapa waktu kemudian si A masih ombes. “Itu Bu Ari, saya pulang lama untuk jual tanah di kampung. Rumah saya sudah kebeli lagi.”

Padahal versi si B saat ketemu saya, si A menghilang lama untuk menghindari orang-orang bank yang berulang datang. Saya tanya ke si B dan jawabannya, “Masih ngontrak, Ri. 12 juta setahun, minta keringanan. Aku kasih 8 juta, nyicil 4 kali.”

Anda tentu tahu, kepada siapa saya lebih percaya. Untungnya, saya bukan orang yang iseng mengirimkan jawaban si B kepada si A. Ketika cerita ini sampai kepada ibu saya, beliau merespon, “Dia tidak mau kalah sama kamu. Kelihatan pengangguran, tapi punya duit.” Saya ngakak. Pekerja kreatif kan sering identik sebagai pengangguran. Apalagi kalau kerjanya di rumah.

Kisah setipe pernah juga saya alami ketika perjalanan pulang ke rumah ibu. Di kereta, saya mempersiapkan laptop dll piranti kelas online. Masuklah seorang gadis remaja —sebut saja C. Atribut dandanannya banyak merek. Saya tersenyum, berbasa-basi. Saya sejenak “stres” saat bocah milenial ini memanggil saya “Dik” dan mengatakan mau ke Malang. Mungkin muka saya tanpa kacamata terlihat begitu belia.

Saya melanjutkan gaweyan. Saya sempat merasa aneh dengan kelakuannya. Dia memangku map bagus —yang saya tahu itu tempat dan pelindung ijazah dari UGM (Universitas Gadjah Mada). Lah dia bawa backpack besar, kenapa tidak dimasukkan ke tasnya yang sudah ditaruh di kabin atas? Haha… saya tidak sempat memikirkan lebih jauh.

Gadis belia ini terus beramah tamah kepada saya. Bertanya ini itu. Beberapa kali saya jawab. Rupanya dia tidak menyadari kesibukan saya, masih saja ngecuprus. Dari nada ceritanya terdengar betapa dia bahagia dan bangga (agak lebay).

Dia menceritakan betapa sulitnya seleksi masuk UGM, jurusan kuliahnya, proses pembelajaran yang tidak mudah, tugas-tugas yang banyak, dosen-dosen yang killer termasuk yang galak, sampai proses kelulusan yang tidak mudah. Yahaa… UGM sudah sejak dulu kondang, masuk (lolos seleksi) tidak mudah, keluar (lulus ujian berijazah) juga tidak gampang. Sudah mainstream yang dikenali umum karena UGM sebagai salah satu kampus terbaik di Negeri Khatulistiwa.

Saya, karena mengajar online menyambungi ceritanya dengan pendek-pendek: iya, oh begitu, hem, betul, dll. Kalau orang peka situasi, pasti sadar bahwa saya sedang mengerjakan hal lain. Sempat saya katakan sedang mengikuti kuliah online. Eh, si bocah milineal ini tetap cerita dengan kebanggaan lebaynya tentang UGM. Biyuuu… biyuuu….

Mengajar online dua jam, terus meeting online, dll kesibukan kerja online. Jadi saya tetap fokus gaweyan sambil mendengarkan si eneng yang berulang cerita tentang kuliahnya di UGM. Termasuk bapak ibunya yang menyiapkan pesta besar. Undangan resminya saja ada 500 sebagai bentuk syukuran kelulusannya. Dia juga menyebutkan salah satu nama hotel di Malang sebagai tempat acara. Biyuuu… biyuuu….

Saat kereta sudah sampai Kediri, saya pun menutup laptop dan membereskan piranti kerja. Saya memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Sebentar lagi kereta akan sampai Tulungagung dan saya harus turun. Barulah saya bisa “menanggapi” si bocah yang seusia dengan anak-anak saya ini.

Saya memaklumi kebanggaannya. Saya pun mengerti, bagi sebagian orang UGM adalah kampus idaman. Kalau kampus lain memiliki slogan mendidik calon pemimpin masa depan, kampus biru ini sudah teruji melahirkan pemimpin-pemimpin kelas dunia. Masuk UGM —sekurangnya jadi semacam “jaminan” masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Jejaring alumninya yang mendunia mampu memberikan akses dan kesempatan kerja  di ranah internasional.

Begitu pemberitahuan kereta akan berhenti di Tulungagung, saya menarik backpack. Tersenyum pada si C dan mengatakan akan turun. Dia memberi jalan. Saya menatap matanya yang berkilauan penuh rasa bangga itu dan berkata terang.

“Nak, selamat atas wisudamu ya! Silakan lanjut S-1 di kampus lain, biar nanti bisa kembali kuliah S-2 di UGM. Seperti katamu, seleksi UGM tidak mudah. Saya juga alumni UGM. Bukan hanya D-3, tapi sudah komplit S-3. Jadi lebih dari tahu jatuh bangun kuliah di UGM. Nama lengkap saya Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. Kamu bisa googling. Sudah ya, saya turun dulu!”

Saya menekankan kata “Nak”, agar dia tahu bahwa saya bukan remaja yang lebih muda dari umurnya. Anda terbayang ekspresi wajahnya? Sayang —saya harus turun dari kereta. Ketika cerita ini sampai ke adik saya, dia ngakak dan bilang, “Buaya dikadalin…!”

Ya, kami yang alumni UGM tahu kalau program-program diploma, baik D-1, D-2, D-3, atau D-4 yang ada di kampus biru adalah “program swasta”-nya UGM. Semua seleksi, aturan, dll perkuliahan program diploma menggunakan manajemen tersendiri. Mereka yang mengikuti program ini, di masa lampau bisa dengan mudah transfer (pindah) ke program S-1 di UGM setelah lulus diploma. Sekarang sepertinya tidak berlaku lagi. Mereka harus transfer studi S-1 di kampus lain non UGM. (cmiiw)

Jadi, tidak usah lebay dan jumawa berada di kampus ini. Apalagi kalau baru seunyik belajar. Ada banyak orang ahli yang berasal dari kampus ini. Mereka memilih berkontribusi untuk bangsa dan negara dalam sunyi —yang mungkin tidak anda kenali, tapi suara peran sertanya membahana ke bumi langit dunia.

Anda merasa cerita di atas setipe dengan banyak hal yang anda alami dalam kehidupan? Ada saja, orang yang entah kenapa selalu ombes kepada pihak lain —yang bahkan tidak dikenalnya. Ombes bisa dalam beragam bidang, mulai dari kepemilikan harta, pekerjaan, ibadah, wisata luar negeri, pendidikan, anak-anak, kerabat berkuasa, pasangan hebat, dll. Hampir semua hal pernah ada jenis cerita setipe.

Apakah ombes tidak boleh?

Pada tataran orang-orang ring satu (keluarga dan orang dekat), versi saya boleh, terutama dalam konteks untuk motivasi dan cita-cita. Misalnya, dulu saya bersaudara ketika masih bersulit kebutuhan sehari-hari, bayar kos, bayar SPP kuliah, dll. yang rasanya putus kuliah lebih mudah, kami ombes untuk menyemangati diri. Kami membesarkan hati dengan memikirkan betapa bahagianya kalau kami melempar toga wisuda, bekerja mapan, dan mendapatkan penghasilan yang baik.

Berasa seperti ombes saat itu bagi kami. Karena untuk makan besok saja kami pun (belum) tahu. Tapi itulah yang menjadi semangat dan mengantarkan kami mencapai satu demi satu jenjang pendidikan sebagai pendukung kinerja.

Tapi kalau ombes pada orang lain?

Wah, kayaknya anda perlu pikir-pikir dulu. Apalagi kalau anda tidak begitu kenal dengan lawan tutur anda. Kan rasanya “memerah muka” kalau lawan tutur anda ternyata membalas ombes anda dengan fakta yang tidak terbantahkan. Selain itu, hidup ini berputar. Roda kehidupan terus bergulir sesuai dengan garis takdirnya.

Kita tidak pernah tahu masa depan. Kita juga tidak pernah benar-benar tahu masa lalu seseorang. Kita tidak pernah mengalami sesuatu yang sama persis seperti yang dialami orang lain. Oleh karenanya, daripada ombes yang bikin kita malu hati, apakah tidak lebih baik kita berendah hati dan hidup sederhana sesuai kemampuan?

Ilmu padi ada baiknya digunakan. Semakin berisi semakin merunduk, semakin kuat semakin sederhana. Saya mencermati pengalaman dari banyak orang yang kuat secara ekonomi, ilmu, kekuasaan, keahlian, ibadah, dll. cenderung anteng —sunyi. Mereka tidak bersuara, tapi dunialah yang menyuarakannya dengan lebih nyaring dalam jangkauan yang lebih luas. Anda pilih yang mana? Jawabannya ada di hati anda masing-masing.

Ari Kinoysan Wulandari

 

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *