Setelah lebaran, sebagian besar dari kita sudah memulai aktivitas versi baru. Kalau sebelumnya bekerja hampir seratus persen dari rumah, kini sudah mulai beranjak dari kantor. Perkuliahan dan sekolah yang sebelumnya banyak menggunakan sarana prasarana daring, kini berganti menjadi luring. Sebenarnya, ini hal yang sangat biasa kita lakukan sebelum pemerintah mengumumkan pandemi Maret 2020 silam dan kita diminta untuk berada di rumah demi mencegah persebaran virus C-19.
Toh, beradaptasi tidak selalu mudah bagi kita. Setelah cukup lama terdiam nyaman beraktivitas dari rumah, tiba-tiba kita dihadapkan pada persoalan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Kita kembali pada rutinitas yang ternyata tidak cukup mudah. Bersiap pagi-pagi, harus mempersiapkan sarapan, berjibaku dengan kemacetan di jalan, keribetan persiapan, dll.
Bagaimanapun juga ini adalah hal yang lumrah. Permintaan untuk segala sesuatu mulai luring, ternyata membawa dampak yang tidak cukup ringan. Banyak anak bertumbangan ketika mulai sekolah. Banyak mahasiswa yang mangkir perkuliahan tatap muka dengan beragam alasan. Banyak pekerja yang tidak datang ke tempat kerja dengan berbagai sebab. Banyak pula yang tiba-tiba “sakit” karena tiba-tiba berhadapan dengan kemacetan dan keribetan di jalan raya.
Sudut Malioboro
Yach, kita memang perlu beradaptasi lagi. Kita perlu membiasakan lagi dengan semua aturan aktivitas. Namun demikian, saya berharap para pengambil kebijakan dan keputusan, bisa mempertimbangkan tingkat efektivitas dan efisiensi. Apabila sesuatu dapat dilakukan secara daring dengan hasil sama baiknya atau lebih baik daripada luring, mungkin perlu dipertimbangkan untuk terus menggunakan cara daring. Sebaliknya aktivitas dan kinerja yang memerlukan sarana dan prasarana luring, memang tetap harus datang ke tempat.
Kita justru harus belajar dengan keberadaan pandemi, kita bisa memilih cara yang paling mudah dan paling efektif untuk semua hal. Bagaimanapun, kemajuan teknologi harus mempermudah kinerja kita. Kalau bisa online dengan mudah, kenapa kita harus memaksa orang-orang datang ke lokasi?
Ari Kinoysan Wulandari