Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co hari Sabtu, 21 Mei 2022 dengan link https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313426523/tamba-teka-lara-lunga-obat-datang-sakit-pun-pergi
Tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit pun pergi’ merupakan salah satu pitutur luhur budaya Jawa yang cukup populer. Nasihat itu mencerminkan pemikiran dan pandangan orang Jawa bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Setiap orang sakit pasti dapat disembuhkan.
Dimensi pemikiran orang Jawa ini tidak hanya memuat masalah sakit dan obatnya, tetapi kalau kita cermati ternyata mengandung banyak pandangan berkaitan dengan penyakit dan pengobatannya di lingkungan orang Jawa. Bahasan tersebut sekurangnya terdiri dari lima hal penting, yaitu (1) sakit – penyakit, (2) obat – pengobatan, (3) ahli pengobatan tradisional, (4) sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit, hingga (5) adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern.
Pertama, sakit – penyakit.
Sakit adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihindari. Seseorang dapat mengalami sakit karena di dalam tubuhnya ada penyakit. Penyakit merupakan sesuatu yang mengganggu atau gangguan di dalam tubuh manusia, yang menyebabkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut mengganggu harmonisasi kinerja tubuh secara keseluruhan, sehingga penderitanya terkena sakit.
Berdasarkan penyebab sakit, orang Jawa mengelompokkan penyakit menjadi dua, yaitu lelara lumrah ‘penyakit wajar’ dan lelara ora lumrah ‘penyakit tidak wajar’. Penyakit wajar adalah penyakit fisik yang secara umum mudah diidentifikasi, seperti batuk, panas, bisul, cacar, dll. Adapun penyakit tidak wajar ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh “perbuatan agen” —manusia dengan perantara jin, setan, makhluk halus (black magic), seperti disanthet, diteluh, diguna-guna, kesurupan, dll.
Adanya jenis penyakit tidak wajar itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional di Jawa tetap tumbuh dengan subur. Bahkan di era teknologi seperti sekarang ini, meskipun rumah sakit dengan piranti dan perobatan medis modern sudah bertebaran di mana-mana; pengobatan tradisional Jawa tetap eksis. Hal ini terjadi, karena ada jenis-jenis penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh medis modern.
Kalau ada kasus orang kesurupan (penyakit tidak wajar), maka keluarga si penderita tidak akan membawanya ke Puskemas, rumah sakit, atau dokter. Mereka akan segera memanggil dukun, paranormal, kyai, atau ustadz —yang dianggap mumpuni untuk mengatasi kesurupan. Demikian juga untuk kasus-kasus penyakit tidak wajar lainnya, seperti disantet, diguna-guna atau lainnya.
Kedua, obat – pengobatan.
Obat dan pengobatan merupakan hal yang berkaitan untuk menyembuhkan sakit dan penyakit. Pengobatan tradisional Jawa ada tiga jenis, yaitu (1) tamba ‘pengobatan’ bisa berupa obat, ramuan, cara pengobatan (2) jamu ‘jamu’ adalah obat yang dimakan atau diminum, dan (3) ritual ‘berkaitan dengan ritus (tata cara dalam upacara adat/keagamaan)’.
Tamba ‘pengobatan’ digunakan untuk menyembuhkan penyakit, orang masuk angin ‘masuk angin’ ditambani ‘diobati’ dengan kerokan ‘dikerok’. Adapun jamu selain digunakan untuk menyembuhkan penyakit juga untuk menjaga kesehatan. Misalnya dengan minum jamu beras kencur ‘beras kencur’ orang akan lebih sehat dan kondisi tubuhnya terjaga. Jamu juga untuk mengatasi sakit yang bukan penyakit, misalnya wanita sakit setelah melahirkan diberi jamu tertentu agar badannya lekas sehat dan pulih.
Ritual dalam pengobatan tradisional Jawa lebih berkaitan untuk penyembuhan penyakit tidak wajar, seperti suker ‘sakit-sakitan karena hal supranatural’ atau sukerta ‘orang yang terkena suker’ dapat disembuhkan dengan ruwatan ‘ruwatan’.
Pengobatan tradisional Jawa merupakan tradisi yang sudah mapan yang dapat dirunut sejarahnya dari relief candi, serat-serat, dan primbon-primbon pengobatan. Misalnya pada relief Candi Borobudur, yaitu pada relief Karmawibhangga panel 2, panel 11, panel 18, dan panel 19.
Adapun naskah-naskah yang membahas jenisjenis penyakit dan cara pengobatannya secara tradisional, antara lain Serat Centhini, Serat Primbon, Serat Primbon Sarat Warna-warni, Buku Primbon Jampi Jawi, Punika Kagungan Dalem Jampi, Serat Primbon Jampi-jampi, Catatan Jamu Tradisional I, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Serat Primbon Ratjikan Djampi Djawi Djilid 1-4, dan Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi.
Panel 2 Relief Karmawibhangga Candi Borobudur (Pengobatan terhadap Anak yang Sakit oleh Laki-laki dan Perempuan)
Dokumentasi Ari Wulandari, 2015
Pemberian obat dan pengobatan oleh orang Jawa berdasarkan gejala-gejalanya, baru menentukan tindakan terhadap penyakit. Gejala penyakit dalam pandangan orang Jawa terdiri dari gejala katon ‘yang tampak’ atau fisik dan gejala ora katon ‘yang tidak tampak’ atau nonfisik.
Gejala fisik adalah gejala-gejala penyakit yang bersifat fisik, mudah diidentifikasi melalui pengamatan, penciuman, dan sentuhan. Misalnya mata abang ‘mata merah’ (identifikasi melalui pengamatan), abab mambu ‘nafas bau’ (identifikasi melalui penciuman), dan awak adhem ‘badan dingin’ (identifikasi melalui sentuhan). Pengenalan gejala yang tidak tampak atau nonfisik umumnya melalui tanya jawab antara penderita dan pengobat tradisional.
Gejala penyakit nonfisik adalah pengindikasian keberadaan suatu penyakit yang terjadi oleh diri pribadi atau orang lain. Hal ini biasanya bersifat subjektif menurut pengamatan atau pengalaman penderita, kemudian dipastikan melalui diagnosis pengobat tradisional.
Ketiga, ahli pengobatan tradisional.
Mereka yang bisa mengidentifikasi penyakit dan memilih pengobatan yang tepat adalah ahli pengobatan tradisional. Ahli pengobatan tradisional Jawa terdiri dari dukun, paranormal, wong tuwa ‘orang yang dituakan’, wong pinter ‘orang pintar’, kyai ‘kiai’, dan sesepuh ‘orang yang dituakan’. Dari ahli pengobatan tradisional Jawa tersebut ada yang dapat mengobati penyakit wajar dan penyakit tidak wajar. Ada yang bisa mengobati penyakit wajar saja, ada yang bisa mengobati penyakit tidak wajar saja.
Keberadaan para ahli pengobatan tradisional ini masih dapat ditemukan di seluruh tanah Jawa. Kadang-kadang tempat operasional mereka berdampingan dengan Puskesmas, rumah sakit, klinik bersalin, atau tempat praktik dokter. Hal ini menunjukkan orang Jawa menerima dengan baik adanya pengobatan tradisional dan pengobatan modern.
Keempat, sikap orang Jawa terhadap sakit dan penyakit.
Pada saat sakit, orang Jawa umumnya tidak langsung pergi ke Puskesmas, rumah sakit, dokter atau ahli pengobatan tradisional. Biasanya mereka akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Langkah pertama, mereka akan melakukan pengurangan aktivitas secara mandiri. Misalnya mereka yang terkena batuk atau pilek tetap akan bekerja seperti biasa, meskipun dengan pengurangan aktivitas.
Apabila dengan pengurangan tersebut, badan menjadi lebih sehat, mereka akan kembali beraktivitas penuh. Pada saat ini mereka tidak melakukan pengobatan sama sekali. Mereka sering menganggap gejala batuk, pilek, pusing, demam, panas ringan, tidak enak badan, dll yang setipe merupakan kondisi tubuh lelah dan harus istirahat.
Langkah kedua, kalau dalam tiga hari mereka melakukan pengurangan aktivitas fisik dan tubuhnya belum merasa sehat, mereka akan mencari obat. Pengobatan dalam hal ini merupakan jenis pengobatan mandiri. Mereka biasanya membeli obat di warung, apotik, supermarket terdekat sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Misalnya obat sakit kepala, obat batuk, obat flu, dll. obat-obatan yang bebas beli tanpa perlu resep dokter.
Langkah ketiga, kalau sudah meminum obat dalam waktu tertentu, mereka belum sembuh; barulah mereka akan datang ke Puskesmas, rumah sakit, klinik, atau dokter terdekat. Pemikiran seperti inilah yang menyebabkan banyak sekali orang Jawa datang ke rumah sakit atau dokter setelah kondisinya parah.
Ada banyak kasus pengobatan yang lama dan berat, karena pemikiran yang seperti ini. Orang Jawa menganggap sakit bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Kalau mereka bisa mengobati secara mandiri, mereka menganggap tidak perlu berobat.
Langkah keempat, kalau sudah mendapatkan pengobatan dengan dokter atau ahli pengobatan tradisional yang mereka percayai, mereka akan mematuhinya. Terlebih kalau dengan kepatuhan tersebut mereka merasakan tubuhnya lebih sehat dan lebih enak untuk beraktivitas kembali.
Umumnya pada penyakit-penyakit wajar yang bersifat ringan dan sudah jelas pengobatannya, mereka yang menderita sakit dapat dengan mudah disembuhkan. Kecuali beberapa penyakit berat yang keberhasilannya masih cenderung kecil —seperti raja singa (HIV, aids), edan (gila, schizoprenia, depresi), kanker darah, kanker otak, stroke, demensia, dll.
Langkah kelima, orang Jawa menganggap bila seseorang sudah menjalani beragam pengobatan sampai titik maksimal yang bisa mereka dan keluarganya usahakan, tetapi tidak kunjung sembuh; kecenderungannya orang Jawa akan pasrah. Mereka harus bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas. Mereka harus menganggap bahwa itu bagian dari takdir kehidupan manusia.
Kelima, adaptasi orang Jawa terhadap kemajuan pengobatan modern. Orang Jawa dengan budayanya yang sangat tua dan mapan, merupakan salah satu etnis di Indonesia yang terbuka, adaptif, dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini terbukti dengan adanya banyak perubahan dan modernisasi pada pengobatan tradisional Jawa. Modernisasi tersebut antara lain terlihat pada lima hal penting sebagai berikut.
Pertama, identifikasi penyakit mengikuti medis modern. Selain menggunakan identifikasi penyakit secara tradisional, pengobatan tradisional Jawa juga mulai mengikuti tradisi identifikasi penyakit dalam medis modern, seperti pemeriksaan denyut nadi, pemeriksaan darah, dan berbagai kemajuan lain untuk mempermudah pengobatan tradisional.
Kedua, komputerisasi atau pencatatan riwayat medis. Sebelumnya riwayat medis penderita berdasarkan ingatan pengobat tradisional, kini sebagian telah menggunakan sistem komputer atau sekurangnya dicatat secara teratur.
Ketiga, obat Jawa dalam bentuk modern. Pengobatan tradisional Jawa telah mengolah bahan-bahan obat dalam berbagai bentuk, seperti konsentrat, kering, teh, cair, kapsul, dll. sehingga lebih praktis, tahan lama, dan mudah dibawa ke mana-mana bila penderita berasal dari tempat yang jauh dari tempat pengobatannya.
Keempat, masalah izin dan tarif. Umumnya pengobatan tradisional tidak berbayar atau sak ikhlase ‘seikhlasnya’. Seiring perkembangan zaman, sebagian pengobatan tradisional telah menjadikan keahlian mengobati sebagai profesi.
Mereka pun mengikuti prosedur standar, mengurus izin, memasang tarif, dan berlomba-lomba pamer keahlian. Sebagian yang lain masih praktik tanpa izin karena menganggap “mengobati penyakit” adalah “panggilan hati”.
Kelima, medis tradisional Jawa bertemu medis modern. Orang Jawa termasuk etnis yang terbuka terhadap perubahan. Para ahli pengobatan tradisional memanfaatkan kemajuan medis modern untuk memperkuat medis tradisional. Kesadaran perlunya kerja sama antara medis tradisional dan medis modern itulah yang menyebabkan pengobatan tradisional Jawa tetap lestari dan terus berkembang.
Seperti itulah hal-hal yang berkaitan dengan nasihat tamba teka lara lunga ‘obat datang, sakit (pun) pergi’. Adanya pemikiran dan pandangan yang luas tersebut menunjukkan kearifan lokal orang Jawa. Kearifan lokal yang tercermin dalam pemikiran dan tindakan-tindakan orang Jawa berkaitan dengan obat dan penyakit.
Catatan:
Tulisan ini merupakan sebagian kecil dari hasil penelitian Disertasi S-3 Ari Wulandari, “Istilah Penyakit dan Pengobatan Tradisional Orang Jawa: Sebuah Kajian Linguistik Antropologis”, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2016.
#publikasimedia #ariwulandari #artikelpopuler #jawa #kinoysanstory
Ari Kinoysan Wulandari