Hari Buku Nasional: Buku Pesanan atau Buku Pribadi?

Sebagai penulis profesional, keseharian saya jelas tidak bisa dilepaskan dari segala kegiatan tulis menulis. Beragam aspek dan pihak yang berkaitan dengan penulisan pun tidak bisa saya tinggalkan. Mulai dari book drafting, pembacaan referensi dan data, penelitian lapangan, wawancara, observasi, fotografi, ilustrasi, deadline, template, klien, media, penerbit, PH, buyer, editor, dll. Menulis sudah mendarah daging di dalam nadi saya.

Menulis sebagai pekerjaan tentu berbeda dengan menulis sebagai hobi. Menulis naskah pesanan itu kadang tidak seasyik menulis secara mandiri materi yang disukai. Saya menyadari bahwa yang paling saya senangi adalah menulis fiksi. Tentu jenis naskah fiksi dalam beragam versi bentuk, seperti cermin —cerita mini, cerpen —cerita pendek, cerbung —cerita bersambung, novelet, novel, skenario.

Menulis fiksi membebaskan saya dari beragam referensi yang sering kali memusingkan. Meskipun tentu saja, menulis fiksi tidak boleh serampangan; tetapi berdasarkan pengalaman dll cerita orang pun, sudah boleh atau sah digunakan sebagai materi cerita fiksi.

Namun dalam perjalanan waktu dunia penulisan, tidak selalu berpihak pada penulis. Saat kita masuk industri kreatif, kita harus sadar bahwa peluang dan kompromi menjadi sangat penting. Dengan kondisi itulah, penulisan saya pun menjadi tidak terprediksi. Menulis buku nonfiksi populer dan referensi, biografi, beragam profil dari perseorangan, komunitas, korporasi, pidato, artikel, esai, dll karya populer menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam keseharian kerja.

Lelah? Ada masanya iya.

Bosan? Ada waktu iya banget.

Pingin berhenti saja? Kadang-kadang.

Sulit? Beberapa kali iya.

Yach, itu adalah kondisi-kondisi yang kurang menyenangkan saat menulis naskah-naskah pesanan. Dan saat-saat seperti itu, berhenti saja menjadi pilihan yang mudah. Meninggalkan pekerjaan penulisan, mungkin lebih gampang daripada memesan makanan via aplikasi online.

“Diam Sejenak dan Bacalah Buku. Nikmati Tiap Halamannya dengan Sukacita.”

 

Bagi saya, dengan beragam jatuh bangun dunia penulisan ya, berusaha mengatasi semua kesulitan dan tantangan yang ada. Paling prinsip yang tetap saya pegang dalam mengerjakan naskah pesanan apapun; saya harus senang materinya, deadline yang wajar, dan pembayaran yang sesuai dengan standar profesional. Sekurangnya, dengan ketiga hal itu saya tetap bisa bekerja dengan wajar dan menghasilkan karya terbaik.

Hal yang paling “menantang” dalam proses kinerja seperti ini, kalau ada perasaan sakaw menulis. Tidak ada waktu, tapi kepala saya penuh sekali dengan pemikiran dan ide-ide materi fiksi. Dan ini benar-benar mengganggu kalau tidak segera ditulis. Maka, kalau sudah seperti itu biasanya saya meninggalkan saja pekerjaan sejenak dan menulis pemikiran tersebut dari awal sampai akhir. Selengkapnya. Serampungnya versi saya.

Berapa lama hal itu saya lakukan? Saya membatasi maksimal “nyelow-nyelow” seperti ini adalah tiga hari dalam kerja sebulan. Jadi, tidak sampai membuat saya pening karena pikiran-pikiran yang menghantui dan tidak membuat saya kehilangan materi atau ide yang bagus. Ingat, pikiran manusia itu pengingat yang lemah. Harus direkam, harus dicatat. Kalau tidak pasti ilang.  Lalu menulisnya kapan? Ya nanti kalau saya pas tidak ada kejaran deadline naskah pesanan.

Mengapa saya mendahulukan naskah pesanan? Ya karena naskah-naskah seperti itu yang begitu selesai, publish, atau rilis, uangnya akan segera dikirim. Beberapa pihak yang sudah bekerja sama dalam waktu yang lama, terbiasa menghitung dan melakukan pembayaran di depan untuk masa tertentu. Tentu saya harus memprioritaskan hal ini dibandingkan menulis buku secara mandiri.

Sistem antrian naskah di penerbit mayor hingga tiba waktunya menerima royalti itu bisa bertahun-tahun; dengan situasi dan jumlah royalti yang tidak pasti. Kadang tidak ada, ada sedikit, ada banyak, dan selalu tidak bisa diprediksi. Jadi, perlu ekstra kerja di bagian yang sudah pasti uangnya kalau ingin hidup tetap terjamin baik dari sisi penulisan. Yach, itu wes lagu biasa bagi freelancer.

Hari ini 17 Mei, biasa kita ingat sebagai Hari Buku Nasional. Kalau ditanya jumlah buku yang saya baca, tentu saya bisa menjawab SANGAT BANYAK. Beragam buku sejak saya umur lima tahun bisa baca tulis, sudah saya baca hingga saat ini. Terlebih kalau harus menulis buku nonfiksi atau buku referensi, wes jelas kudu baca banyak buku.

Kalau ditanya jumlah buku yang saya miliki, saya baru bisa menjawab TIDAK BANYAK. Mungkin dari dus-dus dan rak rak buku itu isinya hanya sekitar 2000 an judul; yang sudah mulai saya bersihin lagi buat dikirim ke beragam pihak. Baca buku versi saya tidak harus memiliki buku. Pinjam di perpustakaan dengan membayar iuran tahunan jauh lebih efektif. Kalau bukunya nggak ada di perpus, baru deh mikir beli. Kalau bukunya semacam referensi wajib, ya kudu dikoleksi. Kadang membeli dua atau tiga eks untuk berjaga-jaga. Karena buku dipinjam jarang yang kembali pulang 🙁

Kalau ditanya berapa buku yang saya tulis, maka saya akan bilang BELUM BANYAK. Sekira 120 buku terbitan nasional di penerbit mayor, bagi saya masih terlalu lamban untuk menjawab ribuan pemikiran di kepala saya yang muncul setiap saat. Menggunakan berbanyak asisten, tidak selalu membuat saya senang dengan karyanya.

Akhirnya, saya menyadari ada karya yang memang harus dikerjakan secara soliter. Buku-buku pribadi yang diterbitkan secara mandiri harus saya tangani secara privat mulai dari book drafting sampai naskah selesai. Itu pun saya kadang masih iyig mengawal naskahnya sampai jadi agar tidak kecolongan produksinya lepas kendali atau tidak sesuai. Dan yach, ini lebih rieweuh, tapi selalu ada kegembiraan dari setiap kali karya publish.

Hari Buku Nasional, setidaknya kita bisa mengingat kita termasuk orang yang seperti apa terhadap buku. Sekurangnya hari ini mengajak kita untuk lebih peduli pada buku. Kalau orang sering menyebut buku jendela ilmu, bagi saya buku justru menjadi ajang rekreasi yang menyenangkan —saat saya belum bisa ke tempat-tempat baru yang indah di berbagai belahan dunia.

Buku juga telah mengajak saya lebih banyak memaklumi pemikiran orang-orang. Setiap buku, sejatinya tidak lahir dari kekosongan. Di sana ada pengalaman, ada pembacaan, ada harapan, ada renjana kalbu, ada inspirasi, ada tata cara, ada pandangan dll intelektual seorang penulis. Membaca banyak buku, secara tidak langsung mengajak saya untuk lebih toleran, lebih banyak menghargai dan menghormati pemikiran yang berbeda, lebih berempati pada hal-hal yang tidak sebaik perkiraan saya, lebih banyak membuka wawasan, dll.

Bagaimana anda memandang buku? Bebas sesuai dengan pemikiran masing-masing.

Bagi saya sebagai seorang penulis, yang terpenting belilah buku-buku yang asli. Karena ini jadi nyawa ribuan penulis dan penerbit. Tulislah buku-buku yang baik. Karena kita tidak pernah tahu, siapa saja yang membaca buku kita. Bacalah buku sebanyak anda ingin menulis. Ingin banyak menulis buku? Bacalah buku dulu sebanyak-banyaknya.

Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei 2022.

#haribukunasional #ariwulandari #arikinoysanwulandari #kinoysanstory

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *