Indonesia tengah diuji oleh alam. Banjir Jabodetabek menyedot banyak perhatian warganet dan bangsa Indonesia secara umum, karena Jakarta adalah ibukota NKRI. Plus peristiwa pilkada DKI yang sungguh nggak mudah hilang dari ingatan publik. Sosok idola terpinggirkan oleh sosok pecatan, yang ternyata membuat banyak “kekisruhan” semenjak menjabat hingga saat ini. Oleh karena konsentrasi itu, barangkali kita terlupakan dengan apa yang terjadi pada sisi lain negeri ini. Laut Natuna kita.
Kapal-kapal ini sudah berkeliaran di Laut Natuna beberapa waktu lalu. Kapal pengawalan sipil China itu dengan santainya berada di laut kita. Ukurannya sangat besar, mengawal kapal-kapal penangkap ikan. Saya awam soal ini. Jadi jangan tanyakan detailnya kepada saya. Dari pict kapal, tentu saya maklum kalau para nelayan Natuna ketakutan melaut. Ada banyak kapal asing yang “mencuri ikan” di rumah kita. Kapal-kapal TNI AL RI diturunkan untuk melakukan pengamanan dan menghalau mereka keluar dari wilayah NKRI. Syukurlah sudah bisa diusir pergi. Nggak usah datang lagi deh, kecuali mau diusir-usir lagi….
Saya njur ingat kisah-kisah sejarah yang saya baca. “Mereka itu dari zaman Kertanegara hingga sekarang kok nggak ada bosennya merecoki kedaulatan Nusantara. Mau pamer uji nyali dan belum kapok, kuping serta rambut utusan dipotong dari masa Singosari?”
Kalau kita lupa soal kebesaran leluhur kita menghadapi mereka ini, mari kita ingat sejenak. Kisah ini saya ceritakan versi seingat saya dari membaca yo. Bagi anda yang ingin memperoleh versi sejarahnya detail, silakan baca buku-buku sejarah yang valid.
Zaman Singosari dipimpin oleh Raja Kertanegara datanglah utusan dari Tiongkok (Mongol). Mereka diterima baik-baik di negeri yang kaya raya ini. Utusan Tiongkok membacakan surat penguasa Tiongkok yang meminta jalur Malaka kepada Sri Kertanegara. Itu demi pemenuhan ambisi Jalur Sutera mereka. Mereka tidak mau mengakui kekuasaan Sri Kertanegara dan menolak membayar pajak saat melalui tempat tersebut. Kemarahan Kertanegara memuncak saat Kertanegara meminta mereka menunjukkan perjanjian bahwa Singosari adalah penguasa wilayah tersebut. Dengan congkaknya para utusan itu mengatakan bahwa Tiongkok lebih berhak dan lebih pantas menjadi penguasa Malaka.
Kemarahan Kertanegara tak terbendung. Para pengawal Kertanegara (Dharmaputra) melumpuhkan para utusan Tiongkok itu. Lalu Kertanegara memotong telinga, memotong rambut dan mengembalikan mereka ke penguasa mereka di Tiongkok. Sebagian ada yang menceritakan tentang pembuatan peta wilayah Singosari di punggung para utusan Tiongkok, memberi cap lambang Singosari di jidat para utusan, dll. Intinya menyatakan kebesaran kekuasaan Singosari dan Kertanegara menolak memberikan Malaka pada Tiongkok.
Kertanegara lalu memperluas kekuasaannya sampai jauh (ekspedisi Pamelayu), hampir separoh Nusantara dikuasainya. Perluasan wilayah besar-besaran ini dalam rangka menghadapi pasukan Tiongkok. Kalau-kalau mereka kembali menyerang setelah dipermalukan oleh Kertanegara. Saat kerajaan kosong sedikit pasukan, Jayakatwang memberontak dan membunuh Kertanegara. Menghancurkan Singosari dengan hanya menyisakan empat putri Kertanegara, dan satu menantunya —Raden Wijaya. Jayakatwang mendirikan Kerajaan Kadiri dan mengusir Raden Wijaya ke Hutan Tarik. Jayakatwang mengalami kegagapan kekuasaan. Semula sebagai raja bawahan Singosari (Raja Gelang-gelang) lalu menjadi Raja Kadiri yang menguasai hampir separoh Nusantara.
Saat itulah, pasukan Tiongkok kembali ke Tanah Jawa dengan pasukan yang jauh lebih besar untuk menggempur Singosari. Tujuannya menggantung Raja Jawa (Kertanegara). Padahal kekuasaan sudah beralih ke Jayakatwang. Raden Wijaya mendompleng kehadiran pasukan Tiongkok ini untuk menyerang Jayakatwang. Jayakatwang berhasil diruntuhkan dan digantung di tepi pantai. Ternyata orang Indonesia yo tetep lebih pintar 🙂
Raden Wijaya pun memperdaya pasukan Tiongkok yang sedang dimabuk kemenangan dengan pesta dan minum-minum. Mereka lengah dan akhirnya mayoritas dibunuh oleh pasukan Raden Wijaya. Sebagian kecil yang bisa melarikan diri mencari selamat sampai kembali ke Tiongkok; tapi panglima perangnya dihukum cambuk belasan kali dan dimiskinkan oleh Raja Tiongkok.
Majapahit pun berdiri dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Ia menikahi keempat putri Kertanegara. Hubungan Majapahit dengan Tiongkok sempat membaik, tetapi karena mereka tetap menginginkan Malaka; Raden Wijaya pun menutup akses Malaka untuk Jalur Sutera mereka. Malaka adalah jalur rempah-rempah dari Nusantara ke seluruh dunia.
Rupanya dendam belum usai. Belum kapok juga mereka. Pada masa Orde Baru, mereka mencari gara-gara lagi dengan banyaknya penyelundup ke NKRI. Indonesia murka dan memutus jalur diplomatik. Indonesia mengusir warga penyelundup pulang ke negeri moyangnya.
Kini ambisi Jalur Sutera mereka kembali digencarkan. Apakah karena investasi mereka yang besar di negeri ini, lalu berasa “di atas angin” untuk menabrak kedaulatan NKRI? Masih bernyali juga rupanya mereka! Mungkin mereka sudah lupa kedigdayaan para pewaris Singosari dan Majapahit. Mungkin mereka lupa dengan bambu runcing pun, bangsa Indonesia bisa mengusir penjajah.
Orang Jawa bilang, sadhumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pati jiwa; kalau ada yang menganggu kedaulatan tanah air, maka akan dibela sekalipun nyawa sebagai taruhannya. Nah, sekarang mereka mau merecoki lagi kedaulatan NKRI? Mo cari mati mereka itu?! Saya yakin NKRI lebih dari negara kuat untuk melawan segala hal yang mengganggu kedaulatannya. Entah dengan cara diplomasi atau kekuatan militer. Yen ora kena diajak ngomong apik-apikan, ya kudu ditendang elek-elekan.
Ari Kinoysan Wulandari