Terowongan Niyama dan Banjir

Jabodetabek banjir. Sosmed riuh sekali. Tapi yang saya lihat, bukan itu. Banyak sekali kabar dan foto-foto yang beredar di sosmed, justru TNI dan Kepolisian bersama masyarakat sigap saling membantu dan berusaha mengatasi persoalan banjir, menolong orang, mengevakuasi, menyediakan makanan, pengungsian darurat, dan banyak kegiatan lain. Semoga banjir lekas surut dan hujan tidak sangat ekstrem; karena kalau prediksi BMKG ini baru permulaan dan puncaknya akan ada di bulan Februari nanti.

Saya tidak akan membahas banjir Jabodetabek. Karena banjir Jakarta itu dejavunya ke saya nggak enak; dingin, genangan air tinggi, listrik mati, air bersih habis, kekurangan makanan, terkurung, akses sulit berhari-hari (itu tahun 2007). Saya beruntung sekarang nggak di Jakarta lagi. Jadi, saya bisa merasakan betapa riewuh dan tidak enaknya bencana banjir. Daripada turut meributkan, saya doakan saja banjir lekas surut.

Banjir juga mengingatkan saya tentang kota Tulungagung, kota kecil yang indah dan memiliki banyak pantai.  Semasa kecil, kota kelahiran saya ini sempat banjir. Tulungagung memang daerah berawa. Namanya saja dulunya Ngrowo, sebelum diganti menjadi Tulungagung —penolong yang agung, negeri yang penuh dengan pertolongan. Ya, memang begitulah adanya. Kalau datang ke kota ini, kamu pasti akan melihat kota yang ramah dan apa-apa masih serba murah.

Stasiun Tulungagung

Banjir bagi anak-anak seperti saya (mungkin kelas dua atau tiga SD), adalah banjir yang berkah. Karena tidak terlalu tinggi, hanya selutut anak kecil seperti saya. Ciblon ‘main air’ menjadi arena permainan yang menyenangkan. Tapi banjir adalah kisah yang sekarang berasa “mitos” di kota ini. Sudah berabad-abad rasanya tanah ini kering.  Semoga seterusnya akan begitu.

Adapun penangkal banjir yang sangat ampuh di kota saya itu bukanlah pawang hujan atau orang pinter, tapi Terowongan Niyama. Yes, terowongan ini memang terowongan asli bangunan tentara Jepang pada saat menguasai Indonesia. Seperti yang saya sampaikan tadi, Ngrowo atau Tulungagung itu daerah banjir. Termasuk pada saat Perang Dunia II saat Jepang berkuasa di Indonesia.  Versi Nenek Buyut saya dulu, Sungai Brantas meluap karena hujan yang terus menerus. Ratusan desa dan ribuan  rumah terendam, areal pertanian hancur. Lalu membentuk genangan rawa yang sangat luas.

Serem. Iyes, banget. Nenek Buyut saya sempat menceritakan peristiwa ini kepada saya. Jadi, ya banjir memang bencana yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan wilayah itu adalah daerah yang sekarang disebut dengan Kecamatan Campur Darat, maksudnya ya air campur daratan.

Terowongan Niyama

Jepang memutuskan untuk menguras air yang menggenangi rawa-rawa itu ke Samudera Hindia, Laut Selatan. Dimulailah pembangunan Terowongan itu setahun setelah banjir (berarti 1943). Pekerjanya siapa? Ya romusha lah… masa orang Jepang! Ribuan orang romusha dikerahkan setiap hari untuk mengeduk tanah dengan alat seadanya. Zaman itu jangan dibayangin alat-alat berat sudah canggih seperti sekarang. Jadi, saya pikir hanya orang cari sensasi aja yang membersihkan atau mengeduk sungai dengan tangan.

Batu-batu kapur di punggung bukit dihancurkan, tapi sayangnya kurang dinamit. Masih dalam cerita Nenek Buyut yang saya ingat, daerah itu pernah jadi landasan terbang orang Belanda —jadi nggak aneh kalau Tulungagung ada banyak bangunan kuno model Belanda dan Nonik-Nonik Belanda (dalam versi hantu, tapi) di beberapa tempat di Tulungagung. Tulungagung bukan daerah yang terisolir. Belanda dan Jepang ya ikut ada di kota ini selama mereka berkuasa, meskipun jarak dari Surabaya itu sekitar 160 km.  Itu karena Tulungagung keren 🙂 Sejuk, indah, banyak tempat wisata, kulinernya enak-enak, orangnya baik-baik, dan perempuannya cantik-cantik. Halah….

Jepang lalu menyisir daerah itu dan menemukan bom yang digunakan untuk peledak. Pembangunan mulai digalakkan, lalu tersendat dalam urusan pengerahan romusha. Jumlah romusha terus berkurang karena mati kepayahan, kelaparan, terus serangan malaria, binatang buas, hingga banyaknya hantu dan roh jahat yang memangsa mereka.

Jepang lalu mendesak setiap pangreh praja untuk setor romusha sebanyak-banyaknya untuk megaproyek ini. Konon sebelum Indonesia merdeka, terowongan sudah selesai (berarti di tahun 1944). Disebut dengan tumpak oyot (akar gunung) romusha. Itulah yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang sebagai ne (akar) yama (gunung). Lalu warga lokal menyebutnya Neyama Romusha. Sekarang siy sebutannya Terowongan Niyama.  Terowongan itu praktis menghentikan banjir dan tetap bisa digunakan sampai terjadi banjir bandang tahun 1955. Lalu tahun-tahun berikutnya kota ini masih langganan banjir.

Sungai Niyama

Baru sekitar tahun 1960 dengan dana rampasan dari perang Jepang, terowongan ini dibangun lagi. Seterusnya terowongan ini menjadi tameng dari banjir besar. Pemerintahan Orde Baru membangun Niyama II dan diresmikan tahun 1986. Iyo, Presiden Soeharto datang waktu itu. Tulungagung jadi meriah banget kayaknya. Saya sudah lupa-lupa ingat soal ini. Yang pasti siy, sejak sekali banjir masa SD itu, rasanya kota saya itu tidak pernah banjir lagi. Semoga tetap begitu…

Intinya bukanlah tentang sejarah Niyama (silakan cari data yang lebih lengkap). Saya hanya merekam lagi cerita Buyut saya. Sejak kecil saya diberitahu lewat cerita; bagaimana terowongan yang mengalirkan air  ke laut itu jadi solusi banjir di Tulungagung. Bukan dimasukkan ke tanah, ya kalau tanahnya seluas lautan dan bisa dibangun sumur-sumur raksasa untuk menampung air banjir… Lha tanahnya penuh dengan kebun beton. Ya jelas menggenangi kebun beton itu dan banjirlah di mana-mana.

Yach, semoga di manapun tempatnya di Indonesia, aman dari banjir. Karena di negeri kita banjir sudah sering terjadi; semestinya kita pun sadar akan bencana banjir ini. Nggak buang sampah sembarangan, nggak babad hutan serampangan, dan tentunya nggak memilih pemimpin yang serombongan aja asal berkuasa.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *