
Raja Ampat, Papua Barat. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Sudah jauh hari saya mendaftar ikut open trip (OT) ke Bandung 3 hari dengan menginap, Sabtu Minggu Senin, 10-12 Mei. Long weekend dan hari Selasa, 13 Mei saya masih bisa istirahat sehari sebelum rangkaian panjang tugas pengabdian.
Jauh hari sebelum lebaran pun biaya sudah saya lunasi. Seperti rencana awal saya, kalau rezeki saya nggak cukup untuk pergi jauh; maka saya akan menggunakannya untuk piknik dekat ke beberapa areal yang harus saya kunjungi ulang atau ya memang belum pernah saya datangi.
Bandung tentu sudah banyak kali saya datangi. Ketika saya kerja menetap di PH Jakarta, Bandung salah satu tempat pelarian dari keribetan gaweyan yang serasa nggak ada habisnya.
Saya ingin ke Bandung karena ada beberapa “hutang cinta, hutang karma” yang harus saya bereskan. Bebersih energi negatif bisa dari mana saja, tapi berada di lokasi kejadian akan membuat semua lebih mudah. Ini untuk yang mengerti soal energi saja. Abaikan bila sampeyan nggak memahami tentang energi.
Di beberapa kota di Indonesia, saya juga punya pengalaman nggak menyenangkan (yang ternyata mengendap nempel sebagai energi negatif) bertahun-tahun. Tiap kali datang ke kota yang sama, bawaannya nggak hoki mulu. Baru setelah dibersihkan, ya lepas semua. Energi positif, bawa hoki, bawa happy.
Bandung salah satunya dan saya wes niat kalau ada waktu agak panjang, saya akan datang. Membersihkan, membereskan hutang karma yang tetahunan masih belum lunas. Percayalah, memaafkan dan meminta maaf itu butuh lebih dari sekedar keberanian dan kebesaran hati. Ada banyak kejadian –yang saking pekatnya melukai hati, butuh waktu yang nggak singkat bagi saya untuk “memaafkan”.
Jelang libur panjang, saya yo wes siap-siap. Tiga hari dengan banyak destinasi, tentu kudu siap-siap fisik mental. Alhamdulillah saya wes sehat. Dokter nggak komen apa-apa saat saya tanya boleh jalan dengan medan yang berat atau enggak. Tripnya ada ke Tangkuban Perahu dan Kawah Putih. Jadi saya pede, aman niy.
Toh, hidup nggak selalu berjalan sesuai rencana. Terkadang, kita sudah bikin acara satu hari dengan rapi, tapi tiba-tiba sakit, keluarga nyelo-nyelo urusan, atau produser meminta revisi mendadak. Situasi nggak terduga memang nggak bisa dihindari, tapi semua pasti bisa dihadapi dengan sikap yang bijak dan strategi yang tepat.
Sehari sebelum berangkat OT, saya sempat nanya ke biro karena kok belum diupdate sama sekali infonya. Biasanya H-5 kita sudah tahu semuanya. Ini belum sama sekali. Dikasih tahu kalau nanti malam akan diupdate. Yo wes. Hati saya mulai senik-senik nggak enak. Wah kayaknya nggak jadi niy, pikir saya. Lalu saya itung energi dengan SM (Soul Meter), lho kok saya nggak ada di Bandung. Jelas nggak berangkat ini.
Saya sudah hampir mengirim pesan pembatalan; tapi kalau saya yang batalin, jadinya angus dong semua duit saya. Tahu ya kalau kita pesan trip apapun, pembatalan di H-1 itu duit kayaknya 75-80% bahkan 100% ilang sepenuhnya. Jadi saya wait and see aja.
Beneran hampir tengah malam; saya dikonfirmasi kalau grup saya kurang batas minimal orang. Saya disarankan ikut grup lain yang beda tujuan, beda layanan, tapi sama-sama ke Bandung. Ini grup OT yang beneran massal, nggak cuma 20 orang tapi 150 an orang, labasan nggak ada nginep karena destinasi lebih banyak, harganya mung separoh dari harga yang saya bayarkan. Biyuuu…
Sadar diri kalau sudah nggak belia lagi, saya emoh hectic oyak-oyakan waktu, jadwal, dan layanan massal yang bikin lelah; saya menolak. Lagi pula tujuan utama saya ke Bandung nggak ada di destinasi grup trip massal itu.
Saya menerima pengembalian penuh duit yang saya bayarkan. Alhamdulillah, nggak ilang duitnya. Meskipun ya ada sedikit kecewa. Duh, belum bisa beresin bebersih energi negatif di Bandung.
Sesaat saya bengong. Njur saya ngapain empat hari? Saya nggak ada plan kerja (menulis) karena memang mau libur. Njur tiba-tiba nggak jadi. Haish, mengganti arah piknik mandiri yo bisa, tapi saya kok wes malas duluan mikirin keribetan dan macetnya jalanan ke tempat wisata saat long weekend gitu. Jogja apalagi. Kemruyuk padat merayap di semua tempat wisata.
Yo wes, lihat besok pagi aja; pikir saya dan langsung tidur. Bangun pagi, nggak sengaja lihat meja kerja yang menggunung dengan tumpukan kertas-kertas, saya mendekat. Ruang kerja saya nggak jadi satu dengan ruang tidur.
Tahu-tahu saya wes membereskan kertas-kertas dll yang nggak penting. Pokoknya hari itu wes lumayan bersih. Dan saya teruskan membereskan ruang kerja itu selama tiga hari, Sabtu-Senin. Tentu disambi-sambi gaweyan lain dan pastinya nonton drakor😄
Toh akhirnya saya malah senang nggak jadi liburan. Mungkin Allah suruh saya bersihin energi negatif yang jelas dekat dulu, daripada yang jauh. Begitu ruang kerja bersih rapi (versi saya) kayaknya saya lebih cepet mengerjakan gaweyan; termasuk persiapan kerja marathon.
Jadi ya, versi saya; kayaknya kita hanya perlu berdamai, tetap tenang dan sigap saat menghadapi hal-hal di luar kendali.
1. Tarik Napas, Tenangkan Diri
Reaksi pertama kita saat dihadapkan pada kejadian nggak terduga biasanya adalah panik, marah, kesal. Namun, satu hal kecil seperti menarik napas dalam-dalam bisa memberi jeda untuk berpikir jernih.
Cobalah hitung sampai lima saat menarik napas, tahan sebentar, lalu hembuskan perlahan. Ulangi beberapa kali hingga tubuh dan pikiran terasa lebih rileks.
2. Ubah Fokus: Dari “Kenapa Ini Terjadi?” ke “Apa yang Bisa Saya Lakukan?”
Mengeluh itu manusiawi, tapi terlalu lama tenggelam dalam pertanyaan “Kenapa ini terjadi?” hanya akan membuat kita lelah. Ubah fokus menjadi tindakan: “Apa langkah pertama yang bisa saya ambil sekarang?” Pertanyaan ini mengubah energi dari reaktif menjadi solutif.
3. Bersikap Fleksibel, Jangan Terlalu Kaku dengan Rencana
Rencana itu penting, tapi fleksibilitas adalah kunci bertahan. Jadikan rencana sebagai panduan, bukan penjara. Saat rencana A gagal, siapkan rencana B, bahkan C. Dengan begitu, kita nggak terpaku pada satu skenario dan bisa cepat beradaptasi.
Kalau nggak jadi liburan kali ini, saya memang nggak ada rencana B, C, dst. Karena jarang banget biro membatalkan OT seperti ini. Cuman ini, saya pikir karena ada trip dalam satu biro yang lebih murah tapi lebih banyak destinasinya saja, yang bikin OT semi privat yang saya pilih, gagal memenuhi kuota minimal. Logisnya kalau kamu bisa bayar A dapat 10, ngapain bayar 2A cuma dapat 5 meskipun layanannya jelas beda kelas.
4. Minta Bantuan Jika Perlu
Kita nggak harus jadi pahlawan super yang mengatasi semuanya sendirian. Ketika situasi di luar kendali, jangan ragu untuk meminta bantuan pasangan, teman, atau rekan kerja. Terkadang, hanya dengan berbagi cerita, beban terasa lebih ringan.
5. Jadikan Pelajaran, Bukan Penyesalan
Setelah masalah reda, luangkan waktu untuk refleksi. Apa yang bisa dipelajari dari kejadian tadi? Apakah ada cara untuk mencegahnya di masa depan? Sikap ini membantu kita tumbuh lebih tangguh dari waktu ke waktu.
6. Latih Diri Lewat Simulasi Sederhana
Mulailah membiasakan diri berpikir cepat dalam situasi kecil: “Bagaimana jika listrik mati saat Zoom meeting?” atau “Bagaimana jika mobil kehabisan bensin saat saya sedang buru-buru?” Simulasi ini membangun kesiapan mental dan memperkuat daya lenting.
Situasi nggak terduga bisa datang kapan saja, tapi kita nggak harus kalah oleh kepanikan, kemarahan, kekesalan. Dengan tetap tenang, berpikir jernih, dan membuka diri pada bantuan dan solusi, kita bisa melewatinya dengan kepala tegak.
Ingat, bukan tentang seberapa hebat kita menghindari masalah, tapi bagaimana kita menanggapinya dengan hati yang kuat.
Ari Kinoysan Wulandari