
Papan nama “Wong Osing”. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Lepas dari De Djawatan kami melanjutkan ke Wong Osing. Hujan sangat deras mengguyur sepanjang perjalanan. Untunglah kami sudah selesai acara mider keliling eksplore di De Djawatan. Kalau enggak, wah bisa kagol kecewa nggak dapat foto-foto bagus di tempat sekeren itu 😁😂
Pas masih nanya-nanya di grup tentang oleh-oleh khas Banyuwangi dan dijawab di Wong Osing itu, otak saya berpikir bahwa yang dimaksud adalah Orang Osing atau Suku Osing. Asumsi saya, kami akan ke areal atau kawasan Desa Adat Suku Osing di Kemiren (cmiiw). Wah lha keren sekali ini Afrindo bawa piknik masih mikirin muatan budaya lokal.
Jadi saya sempat juga membongkar lagi ingatan dan referensi tentang Suku Osing ini. Meskipun mereka tinggal di Pulau Jawa, tapi adat budaya dan bahasa mereka ini nggak sama dengan Suku Jawa. Semuanya beda.

Beberapa perempuan dari Suku Osing. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Saya bahkan wes mikir, oh ntar bisa motret (lagi) beberapa Suku Osing dan tentu lokasi khas areal tinggal mereka. Termasuk beberapa hasil keahlian lokal mereka yang beragam: menari, membatik, membuat olahan pangan, pengobatan, minuman berbahan rempah-rempah, bikin souvenir dll.
Ya begitulah kalau orang linguistik antropologis ketemu nama suku atau etnis tertentu. Mikirinnya wes semua adat budaya mereka. Dokumentasi etnis bentuk visual dan verbal yang sangat berharga.
Saat di perjalanan menuju ke Wong Osing itulah saya baru “ngeeh” mudeng, paham kalau yang dimaksud dengan “Wong Osing” itu ternyata bukan “orang Osing” atau “Suku Osing” seperti yang saya pikirkan. Ini hanyalah sebuah toko oleh-oleh khas Banyuwangi yang kebetulan namanya “Wong Osing”.

Blaiiik tenan. Jebulnya toko oleh-oleh. Dan saya menertawakan diri sendiri yang sudah punya banyak ekspektasi 😁😂 Jadilah di toko itu saya mider keliling nyari oleh-oleh khas Banyuwangi.
Sayangnya karena hujan deras, listrik mati, panas (AC nggak bisa nyala kan?) belanja jadi kurang well. Saya juga nggak ngambil foto-foto di dalam toko. Di beberapa bagian tempat kain, kaos, souvenir juga nggak bisa diakses.
Terus niy pas kami datang kok kayaknya toko belum terlalu siap menerima “banyak tamu”. Peladennya kurang, ditanyai ini itu nggak paham. Pas antrian kasir, kami juga diover sana sini. Terus semua makanan nggak ada testernya. Nggak bisa milih pasti ini rasanya cocok atau enggak di lidah kita.
Selain itu, banyak menu jajanan yang masih pakai bahasa lokal tanpa terjemahan Indonesia. Bagi saya itu bikin ngeblank juga… Misalnya dikasih nama “bolu kuwuk”. Nah saya kudu nanya dulu kuwuk itu apa, ternyata original. Kalau orang Jawa dengan bahasa Jawa, kuwuk itu kan nganggepnya wes terlalu tua, bau, atau basi. Lha mosok bolu basi dijual, kan jelas bukan itu artinya 😁😂
Wes saya akhirnya membeli lebih kurang 10 jenis item jajanan (versi saya, seenggaknya saya kenali) dan masing-masing hanya 1 bungkus standar. Ini karena saya nggak tahu persis isi dan rasanya apa.
Ya kalau cocok di lidah saya, kalau enggak terus nggak kemakan, kan sayang? Dan beneran, mungkin karena remang-remang listrik mati; 3 item jajanan yang saya beli ternyata 2 bungkus bagian plastik bawahnya wes bolong. Kerupuk ikannya wes mlempem tanpa saya tahu. 1 bungkus lagi masa berlaku wes lewat, sehingga rasanya apek penguk nggak bisa dimakan.
Saya orang Jawa. Jadi masih bisa bilang untung yang kecolongan nggak bisa dimakan cuman 3 bungkus. Tapi 3 bungkus harga 30 rb an ya wes 90 rb mubadzir 😁😂 Saya cuman bisa nyalahin diri sendiri kok nggak teliti sebelum membeli. Tapi itu juga jelas QC-nya Wong Osing lalai. Barang nggak layak kok isih mejeng di tangkringan produk yang dijual.
Terus versi saya di sini regane lumayan bunyi. Saya tahu, oleh-oleh di toko khusus biasanya memang beda harga. Tapi kalau ketinggian dan berasa larang, yo orang mikir untuk bayar. Mungkin tokonya perlu screening cocokan harga lagi. Biar orang yang biasa piknik dan jajan oleh-oleh kek saya nggak merasa mark up harganya ketinggian.
Saya kurang tahu kalau belanja di sini pas terang benderang. Mungkin lebih memyenangkan, tapi pastinya harganya nggak beda dengan saat kami datang. Mungkin Afrindo juga perlu mencari tempat oleh-oleh lain yang lebih kondusif untuk kerja sama jangka panjang. Wong Osing saya kira perlu berbenah agar tamu-tamu yang datang bergembira, belanja banyak tanpa merasa larang, dan sukacita membagikan kesan baik mereka kepada keluarga dan kolega.
Ari Kinoysan Wulandari