Wonderful Umroh (6) Paspor Ketinggalan di Bandara?

Akuarium besar yang dijadikan patokan untuk terus keluar dari Bandara Jeddah. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.

Begitu turun dari pesawat, wes masuk areal Bandara Jeddah, saya celingak celinguk cari toilet. Izin TL dibolehkan, saya pun bergegas. Wes antri cukup panjang. Tapi mengingat perjalanan lama dengan bus ke Madinah, saya memilih antri.

Beres sudah. Saya balik ke rombongan. Keributan perkara haus, tidak diberi air; gegara nggak minta air di pesawat masih rame. Saya cari di mana keran air minum, “Itu Pak, Bu, air minum. Bisa diminum, bisa disimpan di thumbler.” Bergegasan orang minum air.

Semestinya kami sudah mulai jalan ke imigrasi, tapi gegara menunggu orang ke toilet; yang nggak dari awal datang cepet-cepet antri, jadi lama. Dan itu siapa penyebabnya? Si Bu X yang rempong tadi.

Sudah beres, TL wanti-wanti agar tetap bersama rombongan per kelompok. Mau ke toilet pun harus izin, biar tahu bisa enggaknya atau ditunjukkan toilet yang lebih dekat dengan urutan kegiatan.

Saya termasuk yang jalan di belakang karena mengekori kelompok. Sepertinya semua baik-baik saja. Ketika sebagian naik kereta untuk ke imigrasi inilah, sepertinya rombongan tidak bersama lagi. Karena ruang di kereta dan tempat duduknya terbatas. Jadi harus beda- beda gerbong.

Lalu kami ke imigrasi. Walaupun berusaha berkelompok, tetapi karena antrian tidak sama; petugas mengarahkan kami ke sini situ antrian yang lebih pendek. Ada yang lama, ada yang cepat di imigrasi ini. Verifikasi kan memang beda-beda.

Pas saya keluar dari imigrasi, rombongan yang ada hanya dua orang, sebut saja Pak B dan Bu Bu. Lainnya ke mana? Katanya sudah duluan pergi. Waduh, saya mulai sedikit cemas. Tapi coba membaca petunjuk di sekitaran.

Pas saya tanya TL di WAG, dijawab setelah keluar dari imigrasi, kami harus menuju pintu keluar dan setelah melewati akuarium besar, nanti jumpa Ustad Sule (muthowib) atau Tim Dewangga yang akan mengarahkan ke terminal.

Kelihatannya gampang ya, tapi karena saya juga tidak tahu utara selatan dan kudu membawa Pak B dan Bu B yang nungguin saya keluar imigrasi, agak tidak mudah bagi saya lari-lari. Untungnya Pak B dan Bu B ini tidak panikan, saya lebih tenang cari arah dan informasi.

Di HP saya itu ada aplikasi detect lokasi dan bisa memberikan petunjuk arah yang mau kita tuju saat kita mengisikan tujuan. Alhamdulillah, setelah melewati akuarium besar; mampir ke toilet –karena sudah jalan jauh juga; selamatlah kami bertiga jumpa Tim Dewangga dan diarahkan ke lokasi bus.

Sebagian jamaah sudah ada di bus, kami bertiga termasuk yang belakangan tapi belum telat karena masih ada yang di luar. Saya duduk dengan jamaah perempuan lain. Sementara Pak B dan Bu B duduk sederet.

Jangan tanya capeknya ya. Sudah malem hari, ngantuk-ngantuk, jalan jauh di bandara, cek imigrasi, masih kudu jalan lagi ke terminal bus. Weish… bagi saya yang biasa jalan dan lari bae capek, apalagi yang enggak.

Ketika dirasa semua jamaah sudah ada di bus, berangkatlah kita. Ustad Sule sedang memberi sambutan ketika menerima telepon. Badalhah, seorang jamaah ketinggalan di terminal. Bus yang sudah melaju 20-an menit itu pun balik lagi ke terminal. Siapa yang ketinggalan? Bu X, si emak rempong. Dan saat masuk bus itu, niy orang melenggang saja sungguh tanpa dosa nggak minta maaf sedikit pun pada jamaah lainnya.

Waktu jamaah di sebelah saya nanya itu kelompok 4 apa nggak ngingetin anggotanya? Saya bilang, rombongan sudah diingetin oleh TL jangan misah. Lha saya dengan Bu B dan Pak B saja juga ditinggal di imigrasi. Kalau mereka berdua nggak nungguin saya, entah apa jadinya. Kalau Bu X itu, saya tidak ingat di mana terpisah. Mungkin pas di imigrasi.

Karena ibu jamaah di samping saya ini masih ngomel saja seolah menyalahkan saya yang ternyata sekamar, tapi dianggap nggak peduli, saya langsung tegas.

“Bu, saya ini nggak kenal Bu X. Bukan anaknya, dia bukan keluarga saya. Kalau ada apa-apa sudah diingatkan dari awal, lapor TL. Kalau tertinggal tidak ada siapapun yang dikenal, kan wajibnya info di grup atau telpon TL. Bukan malah jalan sendiri kelamaan. Kalau nggak bisa jalan cepat karena nggak sehat, laporannya juga ke TL. Bukan saya yang harus urusin.” Baru si ibu ini, saya juga nggak tahu namanya mau diam.

Drama belum usai rupanya. Saat bus sudah kembali melaju kira-kira 30-an menit, tiba-tiba Ustad Jordan memberi tahu Ustad Sule kalau tas Bu X yang berisi paspor ketinggalan di bandara.

Ustad Sule yang sedang memberi penjelasan ibadah, langsung berhenti dan memerintahkan bus putar balik. Ya Gusti… ini emak rempong baru datang aja wes bikin masalah.

Kalau nggak inget ibadah, saya akan ribut dengan TL dan muthowibnya. Suruh aja Bu X balik sendiri pake taksi ambil paspornya. Bukan mengorbankan jamaah satu bus gegara kesalahan seorang.

Lama itu Ustad Jordan kembali ke bandara nyariin tas si emak rempong yang nggak tahu diri. Wes, saya bolak balik istighfar agar nggak marah kesal. Begitu Ustad Jordan kembali ke bus, Ustad Sule menarik semua tas paspor kami (yang isinya paspor, vaksin, visa, tiket, dll). Biar nggak ada kejadian setipe lagi.

Praktis 3 jam kami terbuang untuk bolak balik jalan gegara si Bu X. Sampai Madinah yang harusnya jam 2 atau 2.30-an pagi, bisa sholat malam dan Shubuh di Masjid Nabawi pun terlewat. Jam 6 kami baru tiba di Masjid Nabawi. Sholat Shubuh jamaah, tapi nggak ikut imam masjid.

Jujurly, saya wes berdoa agar si Bu X emak rempong itu nggak bikin ulah. Karena sudah cukup merugikan jamaah lainnya. Untungnya Ustad Sule dan Ustad Jordan tidak seekstrem Pak Rusli (TL di Singapore), telat, barang tertinggal, silakan naik taksi, bayar sendiri, urus sendiri. Bus tidak diizinkan balik hanya demi orang yang nggak disiplin.

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *