
Sebagian jamaah umroh Dewangga yang berangkat bersama saya. Dokumentasi Ari Kinoysan Wulandari.
Malam sebelum keberangkatan, saya tidur lebih awal. Bangun jam 2 pagi, mandi beberes, makan mie goreng, sholat, doa, ngecek ini itu, tahu-tahu wes hampir jam 4 pagi. Karena diantar adik laki-laki, lebih ringan saya. Ikut serta pula dua bocil anaknya, si Mail dan Fara, Utinya (neneknya atau mertua adik saya). Ipar saya tidak ikut karena dinas pagi.
Dari rumah saya ke Bandara YIA, sejam-lah kalau normal nggak macet. Kami bisa berangkat jam 6 kalau mau tiba jam 7. Adik saya, tetap minta berangkat jam 5. Kami sampai bandara jam 6, sejam lebih awal dari rombongan Dewangga. Masih sempat foto-foto, sarapan, makan jajanan, cerita sampai rombongan berangkat.
Jam 8 rombongan jamaah umroh Dewangga sudah ada di dalam bandara. TL kami, Ustad Jordan sudah membagikan ID card, slayer, tas kantong berisi nasi box dan snack box.
Saat itulah Ustad Jordan meminta mereka yang bawa koper kabin tapi nggak diperlukan saat terbang, bisa disertakan di bagasi bawah. Biar lebih ringan.
Saya lihat ada emak-emak sebut aja Bu X, yang selain bawa tas selempang, koper kabin, plus kresek-kresek (lebih dari 4) entah apa isinya. Diminta untuk taruh bagasi bawah oleh TL, dianya nggak mau. Pikir saya, mungkin tas kreseknya isi makanan, yang mau dimakan di pesawat. Karena ada kan, tipe orang yang mudah lapar dan harus bawa makanan minuman ke mana-mana.
Alhamdulillah, kami terbang. Dari Jogja ke Singapura. Sebentar saja. Prosesnya yang suwe. Si Bu X tetap dengan kerempongannya bawa koper kabin plus tas kresek pating crentel.
Penerbangan kami dengan Scoot, maskapai berbayar ringan dari Singapore Airlines. Baru kali ini saya pakai Scoot. Pesawatnya ya standar lah. Fasilitas memadai. Makan minum standar. Cukup baik dengan biaya yang ringan. Apalagi bagasi bawahnya yo 30 kg, bagasi kabin 7 kg, dan tas tangan. Sangat bisa dipertimbangkan untuk jadi pilihan kelas ekonomi.
Penerbangan berikutnya yang jadi banyak cerita. Kami transit sebentar di Singapura, lanjut ke Jeddah. Begitu naik pesawat, saya cari nomor kursi, lah kok sudah terisi tiga orang. Emoh beribetan karena semuanya yang duduk ngeyel nomornya benar, saya panggil pramugari. Akhirnya satu orang disuruh pindah, satu orang disuruh duduk sesuai nomor, satu orang disuruh geser; baru saya bisa duduk. Ealah, nomor kursi sudah jelas yo kok isih ngeyel. Dikira naik bus dadakan, yang duluan bisa milih tempat duduk.
Setelah taruh bagasi kabin, taruh tas selempang di bawah, duduk, pake sabuk pengaman, nonaktifkan HP, saya hendak tidur. Sebelah saya ngomong. “Bu, ini sampai Medinah 5 jam kan?”
Saya membalas singkat, “Ke Jeddah, Pak. 9 jam.”
“5 jam. Kita kan dari Singapura.”
Saya yang sedang males berdebat hanya membalas, “Oh ya.”
Saya lalu membaca, baru tidur. Kira kira wes 5 jam terbang, sebelah saya nanya lagi. “Ini sudah 5 jam, kenapa belum sampai juga, Bu?”
Lah piye to orang ini? “Masih kurang 4 jam. Itu pun kalau cuaca bagus terus.” Dia ngomong apa, saya nggak merespon.
Saya agak lupa, ini makannya dapat 2x atau 1x makan dan 1x snack. Yang jelas, kalau saya merasa kenyang terus. Minta air atau minuman juga mudah. Pramugari/a sangat cepat membantu.
Cuma ada sebagian jamaah, mungkin karena bahasanya beda, atau segan, atau entah apa; nggak minta air putih atau minum tambahan. Jadi praktis hanya dapat 2x air putih @1/2 gelas pas makan dan snack. Pas turun itu pada beributan soal air karena kehausan. Katanya di pesawat nggak dikasih minum. Laaah, piye to 😁 Padahal air putih atau minuman di pesawat ini gratis asal minta. Kalau kondisi darurat, obat P3K juga tersedia.
Terus si Bu X yang rempong itu, bawaannya yang pating cerentel sudah diletakkan di kabin oleh pramugari, diturunkan lagi. Karena mengganggu jalan untuk lewat, dinaikkan lagi oleh pramugrari. Diturunkan lagi. Begitu bolak balik dan kayaknya dikerasi sama petugas, baru nggak diturunkan. Mungkin takut ilang.
Ada lagi jamaah yang mungkin nggak tahu, biasa hidup sederhana, naik pesawat pun pake sendal jepit. Biyuu, saya wes ketarketir kalau mereka disuruh turun ganti sepatu. Lha kalau sepatunya di bagasi bawah, apa nggak jadi gawe? Biasanya disuruh beli atau nggak bisa terbang. Haish, aturan dasar bae kok ditabrak. Padahal seinget saya pas manasik wes dijelaskan oleh Ustad Pemandunya.
Kasus di toilet belum dikunci lalu beributan saat dibuka orang, ya masih ada. Kasus-kasus yang kalau saya ikut umroh dengan Kosudgama nggak bakalan ada. Rerata jamaah ya keluarga guru besar, dosen-dosen, kerabatnya, dll relasinya yang umumnya wes biasa bepergian jauh dengan pesawat. Inilah serunya kalau perjalanan umroh massal, bukan privat. Macam-macam saja karakter orangnya.
Pas turun pesawat pun tak kalah hebohnya. Saya sudah bilang ke sebelah, agar sabar tunggu sampai pesawat mendarat sempurna. Baru ambil tas bawaan, tapi wes ngeyel bae mendesak saya berdiri dari kursi. Saya pun berdiri, dan dia langsung buka kabin atas, tarik tas-tasnya.
Padahal lho, biasanya kalau pesawat masih bergerak itu ada 20-an menit lagi sampai kita diizinkan turun. Saya yang wes duduk lagi, nggak mau berdiri balik agar dia bisa duduk di kursinya kembali. Sungguh membagongkan. Jarene wes biasa pergi pake pesawat, tapi kelakuannya nggak mencerminkan omongannya.
Dan begitu turun, mendarat di Jeddah, mulailah banyak kisah penuh drama yang harus saya saksikan.
Ari Kinoysan Wulandari