Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan dengan berita heboh korupsi Harvey Moeis (HM) yang ditaksir menyebabkan kerugian negara sebesar 271 Trilyun.
Lalu beberapa hari kemudian sang istri HM, Sandra Dewi yang dipanggil untuk bersaksi di pengadilan, dengan penampilan yang superceria tanpa rasa malu masih bisa menyapa wartawan tanpa rasa berdosa. Sama sekali. Berasanya di hati saya, kok cacat etika betul.
Seolah olah 271 T itu adalah hak suaminya. Atau mungkin sudah tahu kalau korupsi di Indonesia hanya didenda 1 milyar saja? Hukuman penjara? Ah biasa, nanti juga kena remisi terus nggak sampai enam bulan sudah bebas. Dan tetap kaya raya dengan seluruh aset nya yang trilyunan itu.
Saya tidak hendak mengomentari, karena proses hukum sedang berjalan. Tetapi melihat banyak kasus korupsi di Indonesia yang berakhir baik baik saja bagi pelaku, istri, anak anak dan keluarga besarnya; rasanya hukum kita itu memang hanya tajam untuk rakyat jelata. Sungguh menyedihkan.
Lalu berita yang rame banget tentang seorang pegawai Pertamina yang memarkir mobil sembarangan, diingatkan karena membuat macet malah balas membentak dan meludahi pengemudi lain; yang berbuntut pemecatan. Sungguh harga yang mahal untuk emosi sesaat. Cacat etika yang tidak akan bisa ditebus sepanjang hidupnya.
Berikutnya berseliweran pula sesorang perempuan berbaju merah (saya tidak ingat namanya); yang karena memaki seorang lelaki (body shaming) lalu dipukul dan diludahi, sementara di seberang sana terlihat ada lelaki dan keluarga yang hanya bengong saja. Tidak tergerak melerai, atau menengahi agar tidak terjadi penganiayaan. Sungguh cacat etika yang dipertontonkan secara vulgar. Si perempuan yang memaki salah, si lelaki yang memukuli salah, si penonton pun (rasanya) juga salah.
Ini semua ada di timeline beranda sosmed saya. Sementara sehari hari kita menyaksikan banyak kali peristiwa “cacat etika” yang bikin hati ngenes. Versi saya ini adalah bukti nyata kegagalan pendidikan dasar di negara kita. Karena sejak lama kita meniadakan pendidikan etika dan budi pekerti. Mungkin kita sudah dalam keadaan darurat etika sosial.
Orang menjadi “beringas”, “brutal” secara verbal dan non verbal. Menganggap salah itu biasa selama mereka punya uang, punya kuasa. Orang tidak lagi menimbang kepentingan umum, yang penting dirinya benar. Yang penting dirinya untung.
Lalu akan menjadi seperti apa bangsa ini di masa depan? Sulit memikirkan. Dalam ranah sederhana, mari kita cek keluarga kita saja. Pastikan bahwa kita, pasangan, anak anak, cucu, dll orang yang berada dalam satu rumah dengan kita; sudah mengenal dan menerapkan etika sosial dengan benar. Tidak hanya sekedar “benar” menurut versinya, tapi benar secara aturan umum.
Dengan begitu, sekurangnya mulut kita nggak ringan memaki orang. Kita juga nggak akan main serobot antrian, parkir sembarangan, korupsi tanpa rasa berdosa, dll bentuk tindakan tidak beretika yang merugikan pihak lain. Dan pada akhirnya merugikan diri sendiri.
Semoga jadi perenungan kita bersama bahwa persoalan besar sedang kita hadapi. Sebenarnya kita tidak sedang baik baik saja. Mari kita jaga lingkungan terdekat kita, mulai dari keluarga kita lebih dulu.
Ari Kinoysan Wulandari