Saya memulai karir menulis dari cerita
anak, cerpen, cerbung di media, dan
mulai menulis novel secara mapan. Lalu bekerja menetap sebagai editor buku dan terakhir yang paling lama sebagai script
editor sinetron dan film.
Saya merasa jiwa penulisan saya ya di
materi fiksi, dan bersikukuh itulah yang
saya bisa. Namun dalam perjalanan industri penulisan, ada masa-masanya pasar fiksi begitu jenuh. Buku fiksi model apapun jeblok di pasaran, bahkan untuk mereka yang sudah punya nama besar.
Saat itu, salah satu penerbit menawarkan
saya, menulis nonfiksi. Apa itu nonfiksi….
Saya tidak tahu dan tidak berminat. Hei,
tapi begitu mendapatkan penjelasannya….
take it easy. Tidak ada salahnya mencoba,
toh ada editor yang bisa saya tanya apa dan
bagaimananya.
Saya pun tidak kepedean. Saat tawaran ini datang, saya sudah di Jakarta. Ada banyak penulis yang saya kenali. Saya pun “berguru” dengan serius untuk menulis buku nonfiksi selama berbulan bulan; mungkin setahunan. Sebelum akhirnya saya mencoba mengadu untung dengan menulis nonfiksi dan menyerahkan naskah saya ke penerbit.
Mana bisa saya prediksi kalau nonfiksi pertama saya “Tahajud Cinta” jadi istimewa dan laris manis…. dan setelah itu, saya lupa menghitung bagaimana buku-buku nonfiksi saya menjadi cukup banyak. Tenang saja, belum 1001 judul. Versi saya ya belum banyak 😃
Lalu, saya belajar dengan cepat. Bahwa dalam penulisan apapun, kadang kita harus berhitung dan kompromi dengan kesempatan dan peluang yang ada. Bisa jadi, siswa-siswa kelas yang ngotot betul “hanya mau menulis ini” sesuai bidangnya, padahal bidang itu jelas tidak dicari, perlu berpikir untuk kompromi dengan peluang.
Mungkin dengan menulis “pesanan” itu bisa jadi “batu loncatan” untuk menulis apa yang diinginkannya. Bagaimanapun, anda harus
tahu dan sadar: media, penerbit, PH, jauh lebih senang “menerima” tulisan dari penulis yang sudah eksis dibandingkan penulis yang belum dikenal, betapapun “sangat baiknya” tulisan anda.
Jadi, jangan alergi pada kesempatan. Ingat, berlian tidak ditemukan di permukaan 😃
Anda harus menggali sangat dalam untuk
bisa memperolehnya.
Ari Kinoysan Wulandari