Zaman dulu, saat saya mulai belajar menulis bukan zaman internet seperti sekarang. Nggak ada kelas-kelas penulisan. Nggak ada guru menulis, apalagi di kampung saya yang pelosok –nulisnya pun masih pakai mesin ketik. Suaranya cetak cetok mengganggu kalau malam sunyi.
Kalau kirim naskah ke media harus disertai perangko balasan biar dikembalikan dengan catatan koreksi. Tapi ya tentu saja saya tetap nggak mudeng, di sekolah nggak ada pelajaran menulis.
Saya buangi saja naskah kembalian di tempat sampah ruang belajar, begitu dikembalikan dari redaksi. Jadi saya nggak pikiran sudah nulis begitu banyak. Saya ngitungnya ya tetep satu naskah yang sedang saya kerjakan.
Tahunya pas saya sudah jadi penulis, sudah lama banget, ibunda saya ngasih tuh naskah-naskah yang ditolaki media…. 111 naskah. Bayang pun 🤣🙈 Betapa heroiknya saya menulis dengan membabibuta, tak tahu arah jalan dan cara yang benar.
Terus entah kapan begitu ibu saya menemukan lagi sekitar 10-an, jadi ya 121. Kalau sekarang mengingat lagi, saya bersyukur diberi “mudah lupa” tidak terlalu mengingat apa yang sudah lewat. Nulis terus, dengan satu fokus: dimuat di media 😃💪
Jadi asli, sebel banget kalau ada calon penulis yang baru 3x naskah ditolak sudah teriak menye-menye ke seluruh dunia, hidupnya paling apes…. lah, yang ngerasa apes kan dirinya sendiri 😂
Menulislah dengan sungguh sungguh, pakai hati. Lamban gakpapa yang penting progress.
Buruk gakpapa yang penting jujur dan
tulisan sendiri, bukan plagiat apalagi ketik ulang naskah orang yang sudah publish
dan mengakui sebagai milik sendiri.
Itu sungguh tidak patut!
Menulislah sendiri. Lamban dan buruk itu proses menulis dengan cepat dan baik.
Berlatihlah dan terus belajar hingga menulis
jadi gampang dan menyenangkan 😊😍🤗
Ari Kinoysan Wulandari