Sok Sibuk atau Produktif?

Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Jumat, 29 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.

https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2064008440/sok-sibuk-atau-produktif

ARI WULANDARI

Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com

Sehari semalam waktu kita sama 24 jam. Toh urusan kita tidak pernah sama. Kalau urusan mengukur “produktif” bagi mereka yang bekerja menetap dengan gaji bulanan, biasanya jauh lebih mudah. Di setiap institusi pemerintah atau non pemerintah, umumnya sudah ada aturan dan ketentuannya. Standar untuk memeriksanya pun sudah ada batas minimal yang harus dipenuhi.

Bagaimana untuk mengukur produktivitas kerja freelancer atau mereka yang bekerja di ranah informal? Jawabannya tergantung pada masing-masing orang. Bagaimana cara seseorang mengukur produktivitasnya, cenderung berhubungan dengan karakter pribadi dan keperluan hidupnya.

Mereka yang memiliki keperluan hidup lebih banyak dalam hidupnya, bekerja sebagai freelancer justru akan memompa kemampuan atau kapasitas terbaiknya. Mereka akan menghasilkan banyak, sehingga hasil kerjanya dapat dikomersialkan. Arti dari dikomersialkan berarti dapat dikonversikan dengan uang atau sejenis yang dapat dipertukarkan secara ekonomis (emas, ternak, sawah, tanah, hak eksploitasi, dollar Singapura atau Amerika, hak kelola, dll).

Sebagai freelancer, menyadari bahwa saya bukan orang gajian tiap bulan —bisa berulang kali menerima fee, honor, royaltie, share hasil, dll dalam jumlah besar, tapi juga bisa dalam masa tertentu saya hanya mendapat penghasilan tidak besar. Oleh karena itu, manajemen duit saya kudu bener.

Bukan berarti saya tidak menikmati hidup lho. Hidup saya sangat baik dan happy sesuai dengan standar pribadi. Saya hidup sewajarnya sepatutnya orang hidup. Itu pun ya sudah jauh di atas rata-rata kebanyakan orang. Saya nyaris tidak berkonflik dengan pengaturan uang pribadi.

Sekurangnya kalau saya mau dolan jauhan sedikit, saya tidak perlu merasa bersalah melihat charge yang harus saya bayar. Atau kalau saya sedang kalap memborong kain-kain khas daerah (wastra nusantara), saya pun tidak ada perasaan piye-piye. Atau berhari-hari saya ngepos di hotel ya tidak merasa sayang.  Duit-duit saya sendiri, kalau nggak saya nikmati atau saya gunakan untuk sesuatu yang bermanfaat, kalau saya mati ya tidak saya bawa.

Dengan kondisi tersebut, dengan sadar saya kudu bikin aturan kerja secara mandiri. Pada awalnya tidak mudah. Apalagi sebelumnya saya bekerja menetap dengan sistem gajian dan bonus. Bekerja dengan ritme deadline yang ketat yang sudah ditentukan bersama, membuat saya sudah tinggal menjalani. Seperti berlari dari satu tayangan ke tayangan lain. Ya begitulah kalau mengurusi sinetron dan film di Multivision Plus Jakarta.

Saat melepaskan pekerjaan itu, saya seperti jobless dan limbung mau ngapain, bingung. Mulailah saya memetakan pekerjaan, klien, sponsor, relasi, dll yang berkaitan dengan penunjang kinerja saya. Dari sana saya pun mulai mengatur waktu. Saya memastikan jam hidup saya adalah 03 pagi sampai 23 malam waktu WIB. Lainnya untuk tidur. Dari sekian banyak waktu itulah yang saya gunakan untuk semua aktivitas. Termasuk urusan gaweyan.

Kalau di Jakarta saya terbiasa bekerja dari pagi sampai pagi lagi, maka kembali ke Jogja adalah menikmati hidup yang selow-selow. Jogja tidak bisa dibuat saklek on time seperti Jakarta. Lha prinsipnya saja alon-alon waton kelakon, pelan-pelan asal terlaksana. Mayoritas orang-orangnya tidak bisa diajak berlari kencang.

Kalau di Jogja, mengajak orang lembur dari jam 18 ke 20 WIB saja sulit. Ada saja alasannya untuk cepat pulang. Akhirnya, untuk gaweyan-gaweyan yang rawan lembur-lembur, saya mengajak mereka yang terbiasa dengan ritme kerja di Jakarta. Nggak rampung gaweyan, nggak bayaran! Jadi saya tidak perlu berbual mulut untuk memastikan deadline terpenuhi.

Seiring waktu, saya kembali menikmati hidup di Jogja yang santai. Segala kuliner dan aneka tempat wisata bisa saya nikmati dengan murah. Beberapa kali saya sering syok, dengan harga-harganya yang sering versi saya tidak masuk akal. Hidup di Jakarta dengan segala fasilitas kantor yang mudah, penghasilan besar sekaligus biaya-biaya hidup yang tidak ringan, membuat saya terbiasa dengan “harga mahal” itu.

Jadi, biaya makan saya saja di Jakarta, wis bisa untuk hidup dengan layak saya bersama anak-anak asuh yang semuanya sekolah. Istilahnya, saya bekerja tetap dengan standar hitungan Jakarta, tapi untuk biaya hidup di Jogja. Ya jelas makmur. Meskipun tentu, dalam beberapa hal saya tetap harus bekerja mengikuti ritme Jakarta. Kadang-kadang saya harus bekerja dari pagi sampai pagi beberapa hari demi mengawal pekerjaan-pekerjaan urgent yang kudu naik layar.

Di hari yang lain, saya bisa selow tenan. Rebahan, nonton, baca, ngrusuhi ponakan-ponakan saya, nginguk teman-teman, nyambangi panti asuhan dan anak-anak asuh, pesantren, ngopeni tanduran, atau ibut menata buku dan souvenir yang sudah rapi diganti formasi, dll aktivitas yang sama sekali nggak ada duitnya. Itulah yang menghidupkan saya.

Sibuk? Iya. Setelah kembali ke Jogja, saya ya lebih banyak menulis buku, mengurusi anak-anak sekolah penulisan, dll yang tidak terlalu menguras energi fisik dan mental. Sekurangnya sekarang saya sudah ada 125 judul buku yang terbit di penerbit mayor.

Terbit di penerbit mayor itu artinya semua naskah tersebut sudah lolos seleksi standar penerbitan. Saya tidak perlu bayar biaya produksi, tinggal mengawal saja sampai terbit dan beredar di toko buku offline maupun online. Seterusnya saya perlu membantu promosi dengan maksimal, dan tiap enam bulan terima royalti.

Dengan 125 judul buku tersebut saya tulis dalam masa 20 tahun sejak saya mempublikasikan buku saya pertama di tahun 2002. Bukan dadakan langsung jleb ujug-ujug sebanyak itu. Sedikit demi sedikit. Kadang satu, dua, tiga, lima, atau maksimal dalam satu waktu bersamaan terbit enam judul buku.

Sekarang dengan adanya pembaruan untuk membuat semua buku akan dialihkan dalam versi digital atau ebook, jelas potensi pasar yang luar biasa. Kalau secara kasar dibilang, tidak perlu bekerja lagi pun, saya wis bisa hidup layak di Jogja ini. Ya karena royalti buku akan dibayarkan terus menerus selamanya —selama buku masih terjual. Lha kepenak to dadi penulis buku? 😀  

Tapi kan hidup kalau mung thenguk-thenguk ya nggak produktif. Sehari-hari saya tetap bekerja. Menulis, mengajar, mengawal kelas, mendampingi penulis, mengikuti berbagai program kerja PH, dll. Semuanya saya pilih yang menyenangkan. Ada yang (tidak/belum) ada duitnya, ada yang duitnya tidak banyak, ada yang duitnya banyak, sering pula ada duitnya sangat banyak. Saya bersyukur dengan semua berkat Tuhan.

Sebagai penulis yang sering dilabeli produktif dengan jumlah buku banyak hingga saat ini, saya hanya tersenyum. Kalau dihitung jumlah, mungkin iya produktif. Tapi apakah bagi saya ukuran produktif itu hanya jumlah karya baru?

Tentu tidak. Bagi saya pribadi, produktif berarti menghasilkan uang secara riil dari hasil karya. Itu berarti harus banyak buku terjual, sinetron yang rating, film yang box office, share hasil yang banyak, dll. sehingga menghasilkan uang yang melimpah.

Kalau tidak, berarti produktivitas itu hanya semu. Saya sebagai freelancer profesional berhitung berapa banyak uang yang dihasilkan. Dengan demikian, ada lebih banyak waktu untuk ongkang-ongkang tanpa bingung uang.

Jadi, kalau kamu merasa seharianmu sudah sibuk sedari bangun tidur sampai mau tidur —rasanya untuk selaw-selaw tidak bisa, coba cek aktivitasmu. Coba sekali saja, data kegiatanmu dalam satu hari penuh. Mungkin saja waktumu banyak terbuang untuk hal sia-sia.

Misalnya terlalu ngurusi kehidupan orang lain. Scrolling medsos tanpa henti tanpa tujuan. Nonton video-video dan cuplikan-cuplikan pendek yang hanya sekian detik, tahu-tahu sudah sejam. Bolak-balik update status di sosmed padahal nggak penting-penting amat. Bagian dari kaum juliders dan nyinyirens yang mengganggu perasaan orang lain. Terlibat dalam gosip dan perdebatan —baik di dunia nyata atau sosmed; ngobrol ke sana sini tanpa arah; dll yang saya yakin setiap pembaca bisa memetakan dengan baik.

Saya kalau pas selow, bisa mung rebahan dengan nonton saja seharian. Apalagi sekarang ada platform film murah-murah yang bisa diakses dari rumah. Asal internetmu lancar jaya, sehari semalam mo nonton ya bisa. Ini kelihatannya tidak produktif, bagi saya ya tetap produktif. Begitu rampung nontonnya, saya akan bikin ulasannya untuk media, PH, klien atau sponsor. Dan tentu sajaa dibayar, dapat duit.

Kalau berkaitan dengan produktif, saya yakin setiap orang bisa memetakan kemampuan riilnya. Kemampuan ini tidak hanya keahlian lho ya. Termasuk di dalamnya kesempatan, waktu, akses ke sumber daya, jejaring kerja, dll yang bisa menjadi sarana percepatan produktivitas.

Misalnya sampeyan ibu rumah tangga dan sudah sepakat dengan pasangan untuk ngurusi rumah dan anak-anak. Sementara suami bekerja keras memenuhi semua kebutuhan keluarga. Sebenarnya sampeyan punya skill menulis, menggambar, melukis, fotografi, dll. yang bisa dikomersialkan. Karena kesibukan mengurusi anak-anak dan rumah tangga itu ibaratnya 27 jam sehari, ya tidak usah ngoyo ingin  produktif seperti mereka yang profesional bekerja di bidang tersebut.

Dalam kasus-kasus seperti ini, saya biasanya menyarankan untuk membuat jadwal  sehingga kemampuannya tidak hilang. Misalnya bisa menulis, ya isi saja blog pribadi setiap hari secara rutin. Tidak usah memikirkan hal besar, ambil saja dari sesuatu yang dialami atau dilakukan. Ini merupakan hal yang mudah. Selain gampang dilakukan, juga bisa menjadi sarana untuk pereda stress menghadapi keriuhan anak-anak super yang kadang kelakuannya bikin lelah jiwa raga.

Nah, dari ulasan saya di atas silakan menghubungkan dengan kondisi riil masing-masing. Silakan ngecek peta kapasitas atau kemampuan dan tentukan target yang wajar sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena versi saya, produktif berkarya sekalipun kalau nggak menikmati hidup, ya tidak ada gunanya. Hidup kalau hanya untuk grundelan urusan gaweyan ya jelas mengganggu.

Pilihlah apa saja yang memungkinkan sampeyan semua agar produktif versi masing-masing. Sungguh tidak masuk akal kalau ada yang berteriak atau bilang, nggak bisa apa-apa. Yach, kecuali mereka yang sudah terbaring dengan begitu banyak selang pembantu hidup di ruang ICU, baru itu benar.

Kalau anda sehat, keluarga baik-baik, terdidik, punya lingkungan yang baik, lalu bilang tidak bisa apa-apa, saya tidak percaya. Mungkin sampeyan tipikal orang yang sok sibuk dan tidak mau produktif. Sampeyan pilih yang mana?. ****

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *