Artikel ini telah dimuat di penabicara.com pada hari Jumat, tanggal 8 Juli 2022 dengan link berikut.
https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063845978/berkurban-dengan-niat
ARI WULANDARI
Dosen PBSI – FKIP – Universitas PGRI Yogyakarta, web: arikinoysan.com
Dalam perjalanan hidup saya bersaudara, pernah ada masa yang sangat gelap. Jangankan memikirkan untuk lulus kuliah, besok makan apa saja, kami tidak tahu. Praktis setelah usaha bapak bangkrut, hidup kami menjadi tidak mudah. Banyak hal yang terbiasa ada, tiba-tiba hilang. Dan itu semakin parah ketika bapak meninggal, saat kami enam bersaudara masih semrawut, belum ada yang mentas (mapan).
Kami semakin tenggelam dalam duka mendalam, karena ternyata almarhum bapak meninggalkan utang-utang yang sangat banyak. Ibaratnya rumah satu-satunya yang dimiliki ibu (yang saat itu selamat dari penyitaan bank) karena tidak jadi agunan bank —dijual pun tidak akan menutup semua utang bapak.
Semasa hidupnya, bapak dan ibu sengaja tidak memberitahukan semua hal itu kepada anak-anaknya, agar kami tidak ikut resah. Begitu bapak meninggal —rasanya kita tahu ya, harus diinformasikan penanggung jawab utang dari si mayit. Karena ibu saya masih ada, ya tentu utang-utang bapak menjadi tanggungan ibu saya. Dengan kondisi ibu sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja, hal itu tentu bukan sesuatu yang mudah.
Beberapa waktu setelah lewat masa berduka, ibu berpikir untuk menjual saja rumah miliknya untuk membayar utang bapak. Saya bersaudara ramai beribut, kalau rumah dijual harus tinggal di mana. Mengontrak rumah bukan urusan mudah, belum kalau harus pindah-pindah karena harga kontrakan yang terus naik.
Saya bersikukuh agar rumah tidak dijual dan bersama saudara membereskan utang-utang almarhum bapak. Saudara-saudara lainnya pun sepakat. Tahu kan ya, kalau rumah dijual dadakan, pasti harganya jatuh miring. Terlebih itu satu-satunya rumah yang ada kenangan bersama keluarga. Kalau dijual hilang pula memori keluarga kami.
Tidak mudah, karena yang baru lulus kuliah baru saya. Lainnya masih embuh, entah bisa sekolah atau tidak. Lha untuk urusan makan sehari-hari saja kami mumet. Namun janji Allah itu benar. Setelah kesulitan ada kemudahan. Ada banyak pertolongan yang tidak terduga.
Saya ditarik bekerja ke Multivision Plus yang memberikan ruang penghasilan besar. Saudara saya ada yang mendapatkan beasiswa kuliah penuh. Saudara saya yang lain memutuskan bekerja sambil kuliah. Sementara yang tinggal di rumah masih sekolah, harus turut membantu menjaga ibu kalau para penagih utang datang.
Sedikit demi sedikit utang bapak berkurang. Karena jumlahnya besar dan kami harus berjibaku tetap harus kuliah dan hidup, maka pembayaran utang-utang itu memakan waktu sepuluh tahun. Tentu tidak mulus begitu saja. Ada banyak “caci maki” dan “cercaan” yang mengerikan. Terlebih kalau utang itu pada bank plecit atau rentenir yang menerapkan sistem bunga berbunga.
Karena menanggung utang-utang bapak dan biaya hidup rumah tangga orang tua, sebenarnya saat itu saya jelas tidak perlu berkurban. Hukum berkurban itu sunah muakad, sunah yang sangat penting —tetapi tetap tidak menghilangkan arti sunahnya. Kalau tidak mampu, ya tidak perlu berkurban.
Saat itu saya sudah berniat untuk berkurban. Karena penghasilan yang saya peroleh itu, kalau dihitung setiap tahunnya sudah lebih dari wajib untuk berkurban. Jadi begitu masuk kantor di Jakarta, saya menyisihkan sebagian uang saya berkurban. Malu rasanya saya diberi pekerjaan mudah, penghasilan besar, tapi tidak berkurban. Bahwa uangnya untuk beragam keperluan, itu kan tidak meninggalkan kenyataan saya mendapatkan penghasilan besar.
Bagaimana cara dulu berhemat untuk berkurban? Misalnya harusnya saya beli makan 50 ribu, saya memilih yang 40 ribu atau kurang, sehingga ada sedikit sisa untuk masuk “kantong kurban”. Sepanjang proses pembayaran utang-utang dan mengawal saudara-saudara saya kuliah, ya mung kambing itu yang bisa saya kurbankan.
Dasar pertimbangan saya, memohon kemudahan membereskan urusan yang banyak dan tidak muda itu. Syukur alhamdulillah semua dapat beriringan. Alhamdulillah, dengan jatuh bangun dan bergandengan tangan bersaudara; rumah ibu ya tetap utuh, kami semua sarjana atau lebih, utang-utang bapak ya lunas.
Setelah itu, saya mulai menambah porsi berkurban. Kalau sebelumnya kambing, lalu ikut sapi untuk bertujuh, terus seekor sapi. Saya kadang merasa tidak fair menaruh seekor sapi di satu tempat. Jadi saya mengikuti keumuman berkurban rata-rata, seekor sapi dibagi bertujuh. Tapi saya lakukan di tujuh tempat berbeda. Kalau dihitung total ya tetep seekor sapi dengan ruang pembagian yang lebih luas. Saya tetep berprinsip harus mengutamakan berkurban di tempat tinggal, baru ke daerah yang jauh-jauh.
Nah, dari pengalaman saya itu, saat ditanyain kawan tentang pilihan berkurban atau bayar utang dulu, saya kembalikan pada pertimbangannya. Tentu saja dalam pemahaman awam sebagai orang yang tidak ahli urusan agama Islam dan hukum ibadahnya dengan detail, maka saya mengatakan kalau versi saya; bayar utang dulu, baru berkurban.
Pemikiran saya itu berkaitan dengan pemahaman kalau orang mati, bila dia memiliki utang, dia bisa tidak disholatkan sebelum ada yang bersedia menanggung utang-utangnya. Seorang yang mati syahid pun terampuni semua dosa-dosanya, kecuali utangnya. Jadi, bayar utang jelas wajib hukumnya.
Sementara hukum berkurban yang saya pahami adalah sunah muakad, artinya ibadah yang sunah yang sangat disarankan. Mengingat aturan ada sunahnya ini, tentu berkurban ini diperuntukkan bagi yang mampu berkurban. Berkurban kan harus dengan binatang ternak yang diperbolehkan, yaitu kambing, sapi, kerbau, unta. Padahal binatang-binatang ternak ini, cukup ada harganya yang harus dibayar oleh mereka yang hendak berkurban.
Keumuman berkurban di Indonesia menggunakan kambing atau sapi. Harga kambing di Indonesia saat ini kisaran 2.5 sampai 5 juta per ekor. Sementara harga sapi yang umum kisaran 20-35 juta per ekor. Makin besar bobotnya, biasanya harganya juga akan semakin besar. Semakin mendekati hari raya kurban atau Idul Adha, kadang-kadang harga kedua binatang ternak itu semakin mahal. Itulah sebabnya untuk berkurban di Indonesia yang paling banyak adalah berkurban seekor kambing atau seekor sapi yang ditanggung oleh tujuh orang.
Kalau seseorang sudah berniat untuk berkurban, sebaiknya dari satu tahun sebelumnya sudah memikirkan biayanya. Apakah ia harus menabung dulu, melakukan penggemukan kambing atau sapi, beriuran dengan saudara atau teman ataukeluarga, mencicil harga kambing atau sapi, dst. Banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Terus, bagaimana mereka yang memiliki utang? Tentu harus membayar utang lebih dulu sebelum berkurban. Dalam pemikiran saya, semestinya setiap orang bisa memikirkan mana yang terbaik bagi dirinya. Masing-masing memiliki tanggungan dan kepentingan keuangan yang berbeda-beda. Tidak bisa disamaratakan.
Bisa saja dia masih punya banyak utang, tapi memutuskan berkurban —seperti yang saya lakukan di masa lalu. Ada juga kondisi seseorang tidak punya utang, tapi tidak sanggup berkurban. Ada yang kondisinya pas-pasan saja, tapi bersikeras menabung untuk membeli hewan kurban. Ada yang menitipkan kambing atau sapi pada peternak dengan membeli anakannya dan membayar biaya perawatan sampai tiba hari penyembelihan binatang kurban.
Ada pula yang berombongan tujuh orang dan beriuran menanggung harga seekor sapi selama satu tahun. Misalnya seekor sapi dibandrol 35 juta. Dari harga 35 juta untuk seekor sapi berarti setiap orang menanggung 7 juta, yang dicicil selama 12 bulan. Berarti setiap bulan setiap orang cukup mencicil 400-500 ribu. Tidak akan terasa berat bagi mereka yang punya penghasilan rutin gajian standar menengah 5-10 juta tiap bulan. Kalau harga sapi lebih rendah di kisaran 25 juta, maka iuran bulanannya bisa lebih kecil. Nanti mendekati hari H Idul Adha, rombongan bertujuh ini tinggal membeli sapi dengan menambah kekurangan biayanya. Namun untuk hal seperti ini, pengelolanya harus amanah dan bisa dipercaya lho ya. Jangan sudah mencicil tertib, tahu-tahu yang pegang duit kabur. Wah, bisa celaka dua belas kalau begitu!
Masing-masing bisa mengukur dan menakar kemampuannya. Tidak pernah ada pemaksaan untuk berkurban. Menurut saya, boleh saja kok seseorang “ngotot” untuk berkurban. Hal ini akan mendorongnya untuk bekerja lebih baik. Biasanya siy, yang saya rasakan secara langsung, urusan-urusan sulit jadi lebih mudah. Apakah itu dampak dari rutin berkurban, saya tidak tahu.
Petunjuk bahwa berkurban sangat baik, itu yang saya terima dengan totalitas. Kalau saya bisa mengerjakan, ya saya lakukan. Kalau tidak bisa, ya tidak saya kerjakan. Membawa ringan hati saja urusan seperti ini. Karena saya tahu, Islam itu mudah dan memudahkan.
Tentu kita tidak boleh mencari pembenaran sesuka kita. Seperti karena berkurban ini sifatnya sunah muakad, jadi menganggap tidak wajib. Sudah punya banyak rumah bertingkat dengan mobil bermerek jejer-jejer di garasinya, eh tetap saja tidak mau berkurban. Atau kalau mau berkurban pakai pecicilan ngatur minta bagian ini itu pada panitia. Biyuuu…. bikin ruwet ribet aja mereka yang begitu. Apakah ada? Banyak. Cek saja kalau anda jadi panitia kurban. Kalau seperti itu ya, jangan menyesal kalau Allah sewaktu-waktu mengambil semua kekayaan.
Saya sering mengingat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tentang berkurban. Alangkah Maha Bijaksana Allah SWT. Kurbannya diganti dengan kambing gibas. Bayangkan kalau aturan berkurban yang diminta anak sulung laki-laki, betapa tragisnya. Nyatanya yang diminta seekor kambing atau sapi setiap tahun. Itupun dengan sukarela dan kesadaran masing-masing.
Akhirnya, mau berkurban atau tidak, mau berkurban atau bayar utang dulu; semua kembali pada pertimbangan masing-masing. Saya mengajak kepada siapa saja, kalau mau berkurban niatkan saja dulu. Bismillah minta dimudahkan rezeki untuk membeli hewan kurban. Insyaallah nanti ada saja tambahan rezeki tidak terduga untuk melakukan kurban.
Kalau masih punya utang, berniat saja dulu. Biar bisa bayar utang dan berkurban bersamaan. Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya. Kalau kita berpikiran dan bertekad baik, Allah akan memudahkan perwujudan kebaikan itu dari berbagai arah. Praktikkan dan buktikan saja. Tidak usah kebanyakan nanya dalil dan teorinya. Malah bisa-bisa nggak jadi berkurban nanti!
Selamat Idul Adha 1443 H. Selamat berkurban. Kalau tahun ini belum berkurban, niatkan sungguh-sungguh agar tahun depan bisa berkurban. Bagi mereka yang sudah mampu berkurban tahun ini atau dari tahun-tahun sebelumnya, semoga tetap bisa istikomah berkurban setiap tahun sepanjang hayat. Amin Yaa Rabbal Alamin.****