Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 30 Juli 2022 dengan link sebagai berikut.
https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4314014904/ritual-sebelum-pernikahan-orang-jawa
NONGKRONG.CO —Pernikahan merupakan hal yang penting bagi orang Jawa. Tradisi yang berlangsung berkaitan dengan pernikahan dalam adat Jawa sangat banyak. Tahapan sebelum pernikahan di kalangan orang Jawa ada dua macam, yang tidak menggunakan ritual dan yang menggunakan ritual.
Tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual ada tiga macam, yaitu (1) pembicaraan pernikahan, (2) pembentukan saksi-saksi, dan (3) pembentukan panitia hajatan. Ketiga tahapan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, Pembicaraan Pernikahan.
Pembicaraan pernikahan pada prinsipnya merupakan pertemuan kedua keluarga yang akan menikahkan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Keluarga mereka bertemu, berkenalan secara resmi, melakukan prosesi lamaran, hingga pembicaraan lain yang berkaitan dengan pernikahan putra putri mereka. Ubarampe dan kelengkapan dalam kegiatan ini sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang sangat praktis modern, ada pula yang semuanya menggunakan pakaian adat Jawa.
Kedua, Pembentukan Saksi-saksi.
Keberadaan saksi-saksi pernikahan merupakan hal penting. Pembentukan saksi-saksi ini adalah permintaan orang-orang di luar keluarga, bisa tetangga dekat atau kerabat dekat untuk menjadi saksi prosesi pernikahan.
Pembentukan atau penentuan saksi-saksi ini tidak memerlukan ritual. Hanya permintaan dan kesediaan sebagai saksi kegiatan sebelum pernikahan. Kesaksian diperlukan pada empat acara, yaitu (a) srah-srahan, (b) peningsetan, (c) asok tukun, dan (d) gethok dina.
Keempat acara ini biasanya memerlukan ritual, terutama pada acara srah-srahan. Srah-srahan adalah penyerahan perlengkapan sarana dan prasarana untuk pernikahan, seperti cincin, makanan tradisional, pakaian wanita, uang, perhiasan, bahan pangan, dll sesuai aturan dan kesepakatan.
Peningsetan adalah acara tukar cincin antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Asok tukon berarti menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertua dari pihak calon pengantin laki-laki. Gethok dina adalah menetapkan hari untuk akad nikah dan resepsi dan lain-lain yang berkaitan.
Ketiga, Pembentukan Panitia Hajatan.
Pembentukan panitia hajatan bertujuan untuk memperlancar acara mantu. Panitia ini biasanya melibatkan keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak calon pengantin. Kalau acara mantunya besar-besaran, panitia hajatan ini dibentuk secara khusus di luar pihak keluarga atau orang dekat dari kedua belah pihak.
Itulah tiga tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang tidak menggunakan ritual. Sementara tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual ada sepuluh, yaitu (1) pasang tratag, (2) membuat kembar mayang, (3) pasang tuwuhan, (4) sungkeman, (5) siraman, (6) adol dawet, (7) potong tumpeng dan dulang pungkasan, (8) menanam rambut dan melepas ayam, (9) midodareni, dan (10) srah-srahan.
Pertama, Pasang Tratag.
Pasang tratag berarti memasang tenda di depan rumah dengan tarub dan hiasan alami di depan pintu masuk. Pemasangan ini sebagai penanda bahwa keluarga tersebut sedang merayakan pernikahan.
Orang Jawa umumnya menggunakan janur lengkung kuning. Janur lengkung kuning ini menandakan permohonan kesejahteraan dan keberkahan bagi calon pasangan pengantin dan keluarga besarnya. Selain itu sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan bahwa anak-anak mereka telah dewasa dan akan menikah.
Kedua, Membuat Kembar Mayang.
Kembar mayang dibuat dari akar, batang, daun, buah, dan bunga. Daun kembar mayang ditekuk dan dimasukkan ke batang pisang. Bentuknya mirip gunung, cambuk, payung, kering, burung, dan belalang. Kembar mayang merupakan lambang kebijaksanaan dan motivasi hidup bahagia.
Ketiga, Pasang Tuwuhan.
Pasang tuwuhan atau menanam buah-buahan di dekat tempat siraman. Buah yang ditanam biasanya pisang raja satu tundun. Pasang tuwuhan melambangkan tanda kemantapan pasangan pengantin dalam pernikahan. Selain itu juga ada harapan agar pasangan pengantin segera memiliki anak.
Keempat, Sungkeman.
Ritual sungkeman berarti permohonan doa restu dari calon pengantin kepada orang tua kedua belah pihak. Sungkeman juga merupakan penanda terimakasih anak kepada orang tuanya telah membesarkan dan mendidik mereka sebelum menikah. Ritual ini biasanya ditandai dengan pemberian sesuatu dari calon pengantin kepada orang tua sebagai bukti cinta.
Selain permohonan doa restu dan pemberian tanda cinta, acara sungkeman juga diikuti dengan permohonan maaf atas segala kesalahan baik dari pihak anak maupun orang tua. Permohonan maaf ini demi memperbaiki hubungan orang tua dan anak yang mungkin saja ada kesalahan.
Kelima, Siraman.
Siraman berarti mandi sebelum pernikahan. Siraman ini dilakukan oleh pasangan pengantin. Siraman dilakukan dengan pakaian adat lengkap dengan beberapa aturan khusus. Air yang digunakan untuk siraman berasal dari tujuh sumber mata air dengan tujuh bunga yang harum; seperti mawar, melati, kenanga, kaca piring, sri tanjung, magnolia, dan wijaya kusuma.
Air untuk siraman dicampur dengan semua bunga yang telah dipersiapkan dan diendapkan sekurangnya 1 malam agar wanginya menguar kuat. Siraman dilakukan oleh tujuh orang keluarga dekat sang pengantin. Terakhir siraman dilakukan oleh orang tua pengantin.
Siraman ini merupakan simbol pembersihan diri dari segala kekotoran jiwa raga. Dengan jiwa raga yang bersih dan suci, pasangan pengantin diharapkan dapat memulai kehidupannya dengan baik dan bahagia.
Keenam, Adol Dawet.
Ritual adol dawet dilakukan oleh orang tua kedua calon pengantin. Dawet adalah salah satu minuman tradisional Jawa yang menyegarkan. Orang tua pengantin harus menjual dawet tersebut kepada para hadirin atau tamu undangan.
Uang yang digunakan dalam acara ini adalah kreweng atau mata uang dari pecahan genting tanah liat. Semua tamu harus membeli dawet yang dijual, tidak boleh ada tamu yang terlewat tidak membeli dawet tersebut.
Adol dawet merupakan simbol dari kesejahteraan dan cara orang Jawa memenuhi keperluan hidupnya. Berdagang merupakan simbol pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja untuk mandiri.
Ketujuh, Potong Tumpeng dan Dulang Pungkasan.
Pada acara potong tumpeng dan dulang pungkasan ini, harus ada nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam. Nasi tumpeng nantinya akan dipotong dan dimakan bersama-sama (kenduri) para undangan.
Sementara bagian nasi tumpeng yang dipotong akan diberikan kepada orang tua kedua pengantin untuk disuapkan kepada calon pengantin. Ini adalah simbol tanggung jawab orang tua terakhir kali sebelum putra putri mereka menikah.
Kalau sebelum menikah calon pengantin lelaki dan calon pengantin perempuan masih jadi tanggungan orang tua, setelah menikah mereka harus mandiri. Mereka tidak lagi disuapi oleh orang tuanya, tetapi harus mengarungi hidup baru secara mandiri. Mereka harus bertanggung jawab pada kehidupan keluarga barunya.
Kedelapan, Menanam Rambut dan Melepas Ayam.
Kedua pengantin dipotong sebagian rambutnya. Rambut ini akan ditanam di tanah. Tujuan dari penanaman rambut ini adalah menjauhkan hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan pernikahan.
Berikutnya, orang tua pengantin akan melepaskan ayam hitam secara bebas. Ayam hitam yang dilepaskan hidup bebas ini merupakan simbol keikhlasan orang tua melepaskan anaknya untuk menikah. Anak-anak yang sebelumnya hidup dalam buaian orang tua, kini telah dilepaskan untuk hidup mandiri dalam pernikahan.
Kesembilan, Midodareni.
Midodareni merupakan ritual pelepasan masa lajang bagi anak perempuan. Pada saat ini, calon pengantin perempuan tidak boleh bertemu dengan calon pengantin laki-laki. Waktu yang ditentukan adalah jam 18 sampai 24 WIB atau dari lepas Maghrib sampai tengah malam.
Biasanya di rumah pengantin perempuan, si calon pengantin perempuan didampingi oleh ibunya dan para sesepuh. Mereka memberikan nasihat dan petuah tentang kehidupan setelah pernikahan. Tujuannya memberikan bekal dan pandangan yang cukup bagi calon pengantin perempuan yang akan menikah.
Kesepuluh, Srah-Srahan.
Srah-srahan berarti menyerahkan berbagai barang keperluan kehidupan dari calon pengantin lelaki kepada calon pengantin perempuan. Bentuk srah-srahan ini sangat beragam, dan biasanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Dalam kebiasaan orang Jawa modern, barang srah-srahan ini sering pula dibeli bersama-sama oleh pihak pengantin lelaki dan perempuan dengan tanggungan si pihak lelaki. Pihak perempuan hanya menentukan jenis barangnya, agar saat diserahkan nanti semuanya bermanfaat dan tidak ada yang terbuang.
Srah-srahan dilakukan oleh pihak calon pengantin lelaki kepada pihak calon pengantin perempuan pada malam midodareni. Adanya srah-srahan ini menandakan bahwa pihak pengantin lelaki sudah menerima tanggung jawabnya atas pengantin perempuan yang akan dinikahinya. Mereka sudah siap menjalani kehidupan berumah tangga.
Seperti itulah tahapan sebelum pernikahan orang Jawa yang menggunakan ritual. Tidak setiap keluarga yang menikahkan anaknya menggunakan seluruh ritual tersebut. Namun secara umum, mereka yang masih memegang tradisi Jawa akan menjalankan keseluruhan ritual tersebut. Selain sebagai tanda syukur atas pernikahan putra putrinya, juga semangat untuk ikut melestarikan tradisi Jawa.
Catatan:
Dr. Ari Wulandari, S.S., M.A. atau Ari Kinoysan Wulandari adalah peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com