Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, tanggal 9 Juli 2022 dengan link berikut ini.
https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313826245/aqiqah-selamatan-bayi-versi-islam
NONGKRONG.CO —Kalau membicarakan aqiqah, maka secara umum kita secara mayoritas mengetahui bahwa itu adalah selamatan bayi versi orang Islam. Dalam selamatan aqiqah ini orang terbiasa mengingat bahwa selamatan itu identik dengan pemotongan kambing. Kalau bayi laki-laki, maka akan dipotong kambing jantan dua ekor. Kalau bayi perempuan, maka kambing yang dipotong sebanyak satu ekor.
Hal ini sesuai dengan hadist yang artinya, “Siapa dari kalian yang suka menyembelih atas kelahiran anak maka lakukanlah, anak laki-laki dua ekor kambing yang cukup syarat, anak perempuan dengan satu ekor.” (HR Ahmad, Abu Dawun, An-Nasaa-i).
Selanjutnya dari daging kambing tersebut akan dimasak menjadi sate dan gule atau jenis masakan lainnya sesuai dengan kesenangan tuan rumah atau orang tua si bayi. Masakan kambing tersebut akan digabungkan dengan masakan lain, lalu diwadahi dalam tempat tertentu dan diidentifikasi sebagai nasi berkat aqiqahan.
Sebagian nasi berkat tersebut dinikmati saat kenduri dan sebagian lainnya akan dibawa pulang oleh tamu-tamu acara aqiqah, dan sebagian lagi akan diantarkan kepada tetangga kiri kanan dan sanak kerabat yang tidak hadir pada acara kenduri.
Dalam bahasa Arab aqiqah itu berasal dari kata al qat’u yang berarti memotong. Pengertian aqiqah secara harfiah berarti memotong rambut bayi yang baru lahir. Adapun secara umum berarti memotong binatang ternak pada hari ketujuh setelah bayi dilahirkan.
Binatang ternak yang boleh dipotong pada saat aqiqah sebenarnya tidak hanya kambing, tetapi bisa juga sapi atau unta. Bagi mereka yang menggunakan unta atau sapi, cukup 1 ekor unta atau 1 ekor sapi untuk 1 orang anak. Namun yang umum adalah menggunakan kambing karena sesuai dengan hadist tentang aqiqah. Selanjutnya tradisi yang mendunia di kalangan orang Islam tentang binatang ternak untuk aqiqah adalah memotong kambing.
Pada prinsipnya hukum pelaksanaan aqiqah adalah sunnah muakad atau ibadah penting dan diutamakan. Oleh karena itu bagi orang tua yang mampu, aqiqah sebaiknya diselenggarakan sesegera mungkin atau pada saat si anak masih bayi. Namun bila belum mampu mengadakan aqiqah, hukumnya tetap tidak berdosa.
Dalam riwayat Al-Hasan dari Sammuroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Semua anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelihkan pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberikan nama.” (HR Ahmad 20722, At-Turmudzi 1605 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Hadist tersebut merupakan dasar hukum pelaksanaan aqiqah. Aqiqah juga menjadi acara selamatan bayi yang umum di kalangan orang Jawa, karena mayoritas mereka beragama Islam. Jadi, selain selamatan bayi versi orang Jawa seperti brokohan, sepasaran, selapanan, telonan, pitonan, dan setahunan, mereka juga mengadakan aqiqahan. Bagi sebagian orang Jawa yang menganggap aqiqahan merupakan perintah agama, sedangkan selamatan lainnya bukan; mereka lebih mementingkan acara aqiqahan ini.
Pelaksanaan aqiqah cenderung dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi digadaikan oleh aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hati ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR. An-Nasa’i)
Pelaksanaan aqiqah pada umumnya sesuai dengan kemampuan orang tua masing-masing si bayi. Kalau orang tuanya tidak mampu, tidak berdosa bila tidak menyelenggarakan aqiqahan. Selanjutnya seseorang boleh mengaqiqahi dirinya sendiri ketika dewasa dan memiliki kemampuan untuk itu.
Prosesi pelaksanaan aqiqah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
- Penyembelihan Kambing.
Dalam proses penyembelihan kambing ini tidak boleh mematahkan tulang dari sembelihan. Ini merupakan simbol atau gambaran agar si anak juga selamat anggota tubuhnya sepanjang waktu.
- Pembuatan Masakan atau Nasi Berkat.
Setelah penyembelihan akan dilakukan pemasakan daging kambing. Di Indonesia, umumnya dibuat sate dan gule. Lalu ditambahkan dengan nasi, sayur, lauk pauk, buah, dll sesuai kebiasaan masyarakat di daerah tersebut.
- Mencukur Rambut Bayi dan Pemberian Nama.
Setelah doa bersama, akan dilakukan kenduri dengan makan bersama nasi berkat aqiqahan, dan membagikan nasi berkat kepada keluarga dan tetangga yang tidak hadir di acara kenduri. Setelah itu, orang tua si bayi harus mencukur rambut si bayi dan memberikan nama yang baik untuk anaknya. Nama itu kemudian diumumkan kepada para hadirin kenduri acara aqiqahan.
Setelah memotong rambut si bayi dan pemberian nama, dilanjutkan dengan memasukkan sesuatu yang manis ke mulut si bayi. Biasanya berupa madu atau kurma yang telah dikunyah lembut. Makanan manis merupakan sumber kekuatan fisik untuk si bayi. Kebiasaan ini sudah berlangsung umum bagi mereka yang mengadakan aqiqah.
Sebenarnya prosesi aqiqahan sudah selesai setelah pemberian nama. Semua orang yang hadir di acara aqiqahan boleh pulang dengan membawa berkat masing-masing. Syarat selamatan dan pemberian nama versi orang Islam pun sudah memenuhi syarat.
Sebagian orang Jawa ada pula yang memberikan bahan aqiqahan dalam versi mentah. Harapannya si penerima bisa mengolahnya sesuai selera. Selain itu, bahan mentah diharapkan juga lebih bermanfaat dalam waktu yang lama. Kalau sudah berupa nasi berkat matang, kalau tidak segera dimakan pasti akan segera basi atau tidak enak dimakan.
Bagi anak yang orang tuanya tidak mampu dan saat dewasa sudah memiliki kemampuan finansial,dapat melakukan aqiqah secara mandiri. Menurut pendapat sebagian ulama, bila orang tuanya dulu tidak mampu, maka ia tidak punya kewajiban untuk melakukan aqiqah. Dengan kata lain, kewajiban aqiqah itu sudah gugur pada saat orang tuanya dulu tidak mampu mengadakan aqiqah.
Namun sebagian ulama yang lain menganggap, ketika si bayi yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya karena tidak mampu, kalau dia sudah dewasa dan mampu menyelenggarakan aqiqah, dia berkewajiban mengadakan aqiqah untuk dirinya sendiri.
Sebagian ulama yang lain menganggap kewajiban si anak yang telah dewasa ini khusus untuk mereka yang pada waktu bayi dulu orang tuanya dalam keadaan mampu, tetapi belum menyelenggarakan aqiqah untuk dirinya.
Anda mau mengikuti prinsip yang mana, silakan saja sesuai dengan pemikiran dan pemahaman masing-masing. Ada yang merasa lebih mantap kalau dirinya belum diaqiqahi oleh orang tuanya menjalankan aqiqah secara mandiri. Ada pula yang menganggap tidak wajib karena itu adalah tugas orang tuanya, bukan kewajiban dirinya.
Ada pandangan yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti.”
Sementara Imam Asy Syafi’i menyarankan aqiqah tetap dilaksanakan walaupun anak sudah cukup umur. “Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak.” (Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)
Seperti itulah tata cara dan hal-hal yang berkaitan dengan aqiqah. Di kalangan orang Jawa yang beragama Islam, mereka menjalankan juga aqiqahan ini di luar selamatan bayi lahir yang bermacam-macam itu. Artinya, bagi mereka yang mampu untuk menyelamati bayi, ada cukup banyak pengeluaran atau dana yang harus dipersiapkan.
Mereka yang sangat “Jawa” dan juga memegang agama Islam dengan kuat, biasanya menyelenggarakan semua selamatan tersebut. Mereka senang berbagi dan berkumpul dengan orang-orang dekatnya.
Sementara bagi sebagian yang menganggap bahwa selamatan bayi versi orang Jawa itu tidak ada tuntunan sesuai dengan agama Islam, kecenderungannya mereka hanya menyelenggarakan acara aqiqahan di awal kelahiran bayi; sehingga mereka bisa menghemat dan meringkas banyak acara. Cukup satu kali selamatan seumur hidup bayi sampai dewasa.
Bagaimanapun juga setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ini adalah bentuk penerimaan dan akulturasi budaya Jawa dengan tradisi Islam. Orang Jawa dengan penganut Islam mayoritas, menjadi terbiasa dengan selamatan bayi versi orang Jawa ditambah dengan selamatan aqiqahan. Anda mau mengikuti yang mana, semua tergantung pandangan dan pertimbangan masing-masing.
Catatan:
Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com