Bercermin dari Kisah Eril bin Ridwan Kamil

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 16 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063669811/bercermin-dari-kisah-eril-bin-ridwan-kamil

Innalillahi wa’ inna ilaihi raji’un….!

 

Saya tidak mengenal Ridwan Kamil (Pak RK) dan Atalia P (Bu Cinta). Apalagi anak-anaknya. Saya hanya mengidentifikasi Pak RK dan Bu Cinta sebagai Gubernur Jawa Barat. Sebagai orang yang tidak mengidolakan mereka di ranah kepemimpinan, saya tidak pernah mengulik sosmed mereka. Kalau kebetulan postingannya lewat di timeline saya dan menurut saya bagus, saya like saja. Sebatas itulah pengetahuan saya tentang mereka berdua.

Pada saat berita hilangnya Eril anak sulung Pak RK berseliweran di sosmed, saya masih tidak paham. Baru ketika mendengarkan beberapa youtube saya mengerti bahwa Pak RK sedang bertugas di Inggris, Bu Cinta dan kedua anaknya pergi ke Swis. Tujuan mereka ke Swis adalah mengantar Eril untuk mencari sekolah jenjang S-2. Lalu ada kesempatan berenang di Sungai Aare, Eril terjun bersama adik dan temannya. Pada saat hendak naik selesai renang, barulah Eril terseret arus sungai dan hilang.

Sontak berita itu bertebaran di jagad sosmed kita. Tim SAR, polisi Swis, KBRI Swis dll pihak dilaporkan sibuk melakukan pencarian Eril di Sungai Aare. Tidak hanya melalui jalur air, tetapi lewat jalur darat dan udara. Dengan usaha yang luar biasa sampai berhari-hari. Namun tidak ditemukan jejaknya, hingga pihak keluarga mengubah status keberadaan Eril dari hilang menjadi telah meninggal dunia.

Saya bisa membayangkan betapa hancur dan luluh lantaknya renjana hati Pak RK dan Bu Cinta, kehilangan putra tercinta di depan mata. Dengan situasi yang sama sekali tidak terduga. Pada kondisi yang rasanya mustahil seseorang meninggal begitu muda.

Ya, Eril masih muda belia. Sekitar 22 tahun sedang mekar tumbuh dewasa. Tapi dia bukan pemuda sembarangan. Dia atlet renang dan mengantongi sertifikat penyelam. Ketika memutuskan untuk terjun berenang ke Sungai Aare, saya yakin dengan keahliannya dia sudah menimbang situasi. Kondisi cuaca, suhu air, kedalaman sungai, deras arus, dll hingga memutuskan untuk turun berenang. Terbukti dia melarang ibunya —yang semula juga ingin ikut berenang. Petanda bahwa dia seorang anak lelaki yang memikirkan keselamatan orang tuanya.

Mereka yang menyukai olahraga air baik di sungai, danau, waduk, laut —seperti renang, snorkelling, diving, menyelam, pasti tahu bahwa tempat-tempat ini sering tidak terduga. Pada saat keadaan terlihat tenang, bisa berubah ganas seketika.

Itu sebabnya saya termasuk yang melarang “permainan” dengan melempar seseorang ke sungai, danau, waduk, laut —bahkan kalau itu berniat untuk kebaikan, seperti acara ulang tahun, syukuran, dll. Tempat-tempat yang terlihat tenang itu bisa jadi berbahaya dalam sesaat. Terlebih kalau orang yang dilemparkan tidak bisa berenang atau tidak mengenal medan air.

Bagaimanapun ahlinya seorang Eril dalam urusan air, ternyata takdir tidak berpijak pada logika manusia. Hampir selama proses pencarian Eril tersebut, sosmed kita banjir dengan doa-doa keselamatan Eril. Ketika statusnya diubah dari orang hilang menjadi telah meninggal, sosmed kita pun begitu riuh. Banyak pesantren, komunitas, perseorangan yang mengirimkan doa dan sholat gaib untuk Eril.

Kisah Eril pun tidak lepas dari pernyataan dan klaim para dukun, paranormal, peramal, hingga indigo. Mereka tentu berbicara sesuai dengan kemampuan atau kapasitas masing-masing sesuai dengan “ilmunya”.  Bahkan banyak yang berani mengatakan begini begitu, yang versi akal sehat pun terasa ngayawara atau dibuat-buat.

Kita, saya, anda, boleh saja tidak percaya pada mereka dengan segala ramalan dan perbincangan “pemilik ilmu gaib” yang justru mengisruhkan keadaan. Tapi mencela dan memburukkan mereka —tentu bukan hal yang baik. Bagaimanapun kita juga tahu ada orang-orang yangdiberi kelebihan untuk “berkomunikasi” dengan dunia gaib. Ada sosok-sosok yang bisa “membaca” masa depan dengan menghitung radiasi energi. Ada sekelompok orang yang waskita —weruh sadurunge winarah. Mereka yang seperti itu pernah tercatat dalam sejarah leluhur bangsa kita.

Bahwa sekarang ada banyak “oknum” yang mengaku-ngaku memiliki keahlian “berkomunikasi dan membaca yang tidak tampak mata biasa” tersebut demi “popularitas” atau “fulus”, itu tentu hal yang lain lagi. Kita tidak boleh menyamaratakan mereka yang benar ahli dan punya mata batin yang tajam dengan mereka yang mendompleng demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Ketika saya bertanya pada seseorang yang saya anggap bisa membaca “sesuatu” yang tidak tampak di mata wajar, beliau hanya berkata singkat. “Dia orang baik. Seperti berita, sudah dinyatakan meninggal. Bapak dan ibunya sangat mencintai. Seperti permintaan ibunya, kalaupun sudah meninggal berharap bisa ditemukan jasadnya. Dibantu doa jutaan orang, selalu ada keajaiban yang bisa terjadi. Insyaallah.”

Tidak memastikan. Tidak menerangkan dengan gamblang. Saat itu saya yakin, dia tahu apa yang akan terjadi. Namun tidak mau mengatakannya kepada saya. Dan benarlah, luar biasa. Setelah 14 hari pencarian, jasad Eril ditemukan oleh Guru SD yang baik.

Jasad Eril dalam keadaan baik dan utuh. Meskipun sudah diterangkan oleh Pak RK bahwa kondisi jasad Eril yang utuh itu karena suhu udara sungai Aare yang dingin dan tidak banyak makhluk hidup di sungai, tetap saja muncul berbagai spekulasi dan hoax untuk meriuhkan sosmed kita. Ada saja pihak-pihak yang meramal dan menghubungkan kondisi itu dengan segala macam klenik dan mitos.

Saya sebagai orang yang beragama, justru ingin tahu tentang keseharian Eril. Pemuda ini bukan sosok yang dikenal atau populer sebelumnya. Saya yakin juga tidak banyak warga sosmed yang tahu bahwa Eril anak Pak RK. Tapi saat berita kehilangan Eril merebak, dia didoakan begitu banyak orang.

Pikiran saya, apa yang menjadi rahasia kebaikannya. Tindakan baik apa yang dilakukan oleh Eril, sehingga dia didoakan jutaan orang. Pasti ada banyak kebaikan Eril tersembunyi dari ruang publik. Kita tahu, ada banyak anak pejabat. Ada banyak yang meninggal mendadak. Mungkin yang mendapatkan doa dan perhatian, rasanya baru sosok Eril.

Pertanyaan saya itu sekurangnya terjawab dari para pelayat tentang amalan kebaikan Eril. Sosok pemuda bersahaja ini senang berbagi dan bersua silaturahmi serta meminta maaf kepada sesama. Hal itu dilakukan Eril secara rahasia. Dia berbuat baik dalam sunyi. Dia tidak hingar bingar. Dia menabur kebaikan dalam kerendahhatian yang dalam. Sosok yang luar biasa, saat kita melihat ada banyak anak pejabat yang kelakuannya berasa anak emas sultan —yang segala sesuatunya minta dilayani.

Eril tiba-tiba mengingatkan saya pada saat pengajian beberapa waktu yang lalu. Salah satu jamaah bertanya kalau ada seseorang yang lahir besar di Indonesia,  ditakdirkan Allah meninggal di India, apakah itu mungkin? Lalu penceramah mengatakan bahwa itu sangat mungkin. Pasti ada kegiatan, cara, atau sesuatu yang membuatnya pergi ke India dan meninggal di sana.

Seperti itulah kematian Eril. Dia lahir di New York-Amerika yang glamour, memiliki darah Indonesia dan banyak menghabiskan waktu di Negeri Khatulistiwa, meninggal di Bern-Swis, dan kembali untuk dimakamkan di Bandung, Indonesia. Kematian Eril mengingatkan pada kita bahwa kematian itu pasti.

Tidak ada yang bisa mengundur atau memajukan kematian. Pun tidak bisa memilih cara mati. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang berbuat baik dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya umat. Kisah Eril, membuat kita bercermin: sudah berapa umur kita? Sudahkah kita berjuang agar mati khusnul khotimah atau mati dalam keadaan yang baik?

Pembelajaran bahwa kita harus berusaha mendapatkan kematian yang khusnul khotimah saya dapatkan dari Prof. Quraish Shihab. Dalam pengajian Ramadan jelang sahur tahunan silam. Forum itu dibuka interaksi antara pemirsa dan pemateri. Ada salah satu pemirsa yang menanyakan, kalau kematian itu mendadak, tiba-tiba, tidak terduga, lalu bagaimana kita bisa mengusahakan kematian yang khusnul khotimah.

Prof Quraish Shihab menjelaskan dengan mencontohkan dirinya sendiri. Bahwa sehari-hari beliau memiliki aktivitas; dari rumah ke mesjid, ke kampus, ke kantor, mengisi pengajian atau pembelajaran agama Islam, pergi bersilaturahmi, menengok anak yatim, dll. Sehari-hari begitu terus yang dikerjakannya. Maka pada saatnya ia meninggal nanti, pasti ia akan meninggal di antara tempat-tempat yang menjadi rutinitasnya.

Saya pikir, itu adalah ajaran tentang mengusahakan kematian khusnul khotimah yang melekat di hati saya. Kalau kita sehari-hari sudah baik; jangan sekali-kali masuk ke dunia ketidakbaikan. Bagaimana kalau saat anda coba-coba ketidakbaikan itu ternyata saat terakhir hidup anda?

Seperti yang dikatakan oleh Ustadz Wijayanto pada saat saya menulis beberapa buku agama dengan beliau, ada nasihat bijak. Demi memperoleh kematian yang khusnul khotimah, tidak usahlah kita berpikiran dosa pahala atau neraka surga. Kalau kamu terbiasa jadi orang baik, sekalinya coba-coba datang ke tempat prostitusi dan kamu mati di sana —naudzubillah min dzalik, coba pikirkan betapa malu dan hancur hatinya keluarga besarmu. Orang tuamu, saudaramu, pasanganmu, anak-anakmu, dll orang yang mengenal bahwa selama ini dirimu adalah orang baik?

Selamat jalan, Eril. Semoga Allah menempatkanmu di sisi-Nya yang mulia. Semoga kematianmu diganjar sebagai orang yang mati syahid. Sebagaimana yang tertera dalam hadist. Dalam hadist tersebut diterangkan bahwa Rasulullah SAW menguji sahabatnya dengan pertanyaan, “Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?”

“Orang yang gugur di medan peran itulah syahid, ya Rasulullah,” jawab mereka.

 “Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.”

“Mereka (yang lain) itu, lalu siapa ya Rasul?”

“Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang meninggal di jalan Allah juga syahid, orang yang kena tha’un (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid,” jawab Nabi Muhammad SAW. (HR Muslim).

Sungguh, Eril dengan kisahnya telah mengajak kita bercermin, menekuri jalan hidup yang telah kita lalui. Mengingat mati membuat hati kita lebih lembut. Mari kita berusaha terus melakukan kebaikan. Bagaimanapun kita bertanggung jawab pada perbuatan masing-masing. Kalau kita mati, kita tidak bisa mengajak orang kesayangan sekalipun untuk mati bersama. Kecuali dalam kasus bunuh diri massal, tentu ini berbeda lagi. Tapi yang terpenting, sudahkah kita mempersiapkan bekal  kematian yang selalu datang tiba-tiba?

 

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *