Borobudur di Hati Saya

Artikel ini telah dipublikasi di penabicara.com pada hari Kamis, 9 Juni 2022 dengan link berikut ini https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063583225/borobudur-di-hati-saya

Hari Minggu pagi (5 Juni 2022) saat saya masih berpikir akan lari atau melanjutkan tidur, berseliweran kabar tentang Borobudur di grup-grup WA. Tiket ke Candi Borobudur menjadi 750 ribu (IDR) untuk wisatawan lokal dan 1,4 juta (IDR) untuk wisatawan asing. Karena sudah berulang ke Borobudur, saya tidak memberi tanggapan.

Saya pun bangun dan berbenah untuk lari. Saat siang, keriuhan kenaikan harga tiket Borobudur semakin ramai. Saya menahan diri untuk tidak ikutan share atau membahas apapun tentang kenaikan tiket Borobudur. Bagi sebagian orang, wisata bukanlah prioritas. Ke candi belum tentu jadi tujuan wisata. Beda urusan kalau misalnya harga beras yang semula 10-20 ribu lalu melonjak 500 ribu per kilo, biyuuu… pasti se-Indonesia Raya geger. Beras makanan pokok kita.

Sore hari beredar lagi berita kalau tiket 750 ribu dan 1,4 juta itu untuk mereka yang ingin naik ke candi. Pengunjung akan disertai oleh guide dan beragam teknis aturan. Semuanya demi menjaga kelestarian candi. Biar batu-batu candi tetap awet dan tidak semakin tenggelam (ambles). Beban yang berat di Borobudur menjadikan candi ini mengalami penurunan dasar dari tahun ke tahun. Tiket masuk ke kawasan candi masih sama, 50 ribu. Sedangkan untuk pelajar dibandrol dengan tiket 25 ribu. Harga-harga itu mungkin akan dikoreksi setelah diujicobakan.

Berita tentang tiket Borobudur ini bikin sosmed kita riuh lagi. Beragam pendapat. Beraneka pemikiran. Kalau positif, saya siy oke-oke saja. Tapi yang bikin saya mules, berbanyak caci maki dan hujatan pada pemerintah pun hilir mudik. Secara otomatis ini membuat saya bersih-bersih sosmed kembali.

Saya bukan bersepakat dengan kenaikan harga tiket ke Borobudur. Sebagai penulis yang doyan dolan, saya tentu happy kalau masuk ke tempat wisata itu free alias tidak bayar. Namun sebagai orang yang mengerti bahwa sesuatu itu harus dirawat, dipelihara, dijaga, direnovasi, dll demi tetap baik sekian abad ke depan; tentu menarik tiket berbayar adalah hal yang wajar.

Apalagi untuk mahakarya sekelas Borobudur ini. Bahkan untuk candi-candi lainnya di seluruh Nusantara, sepertinya pemerintah dan pihak terkait perlu merevisi kebijakan tarif tiket masuknya. Sekurangnya dana tersebut akan bermanfaat untuk pembenahan, perbaikan, sehingga wisata candi-candi menjadi lebih berharga.

Candi Borobudur di hati saya sangatlah istimewa. Sejak SMP saya sudah menjejaki candi ini sampai ke stupa tertinggi. Masa SMA, saya kembali lagi mengunjuni candi terbesar di Indonesia ini. Saya berpikir, kalau saya kuliah di Jogja, bisa lebih sering datang ke candi ini.

Begitu kuliah di UGM, hampir selama tiga tahun atau selama saya kuliah S-1, pekerjaan yang paling sering saya lakukan ya dolan ke Borobudur. Bukan sekedar piknik, tapi jadi guide dadakan. Sekarang jelas tidak memungkinkan menjadi “guide liar” di sini. Ya, nasib saya dulu karena kuliah harus mencari biaya sendiri, maka saya memilih gaweyan-gaweyan yang saya senangi, tidak mengikat waktu, dan duitnya lumayan banyak.

Biasanya saya berangkat pagi-pagi dari Bulaksumur naik bus ke Terminal Jombor. Dari Jombor naik bus ke Terminal Borobudur. Dari sini, saya lari ke areal Borobudur. Setelah membeli tiket, saya mulai berburu rombongan yang akan naik ke candi. Makin banyak isi rombongan makin baik. Fee guide saya hitung per kepala seharga tiket masuk. Jadi kalau banyak orang, uang yang saya terima semakin besar. Ada banyak orang baik. Rata-rata mereka memberikan lebih besar dari semestinya. Mungkin karena saya yo merangkap memotretkan mereka.

 Gara-gara pekerjaan ini, sekurangnya saya mengenali Borobudur sedikit detail. Mulai sejarah, relief-relief, hingga hal lain seputaran candi ini. Kalau masa liburan, saya bisa mengawal empat atau lima rombongan. Sebanyak itu pula saya naik turun candi dan berkeliling pradaksina (berjalan searah jarum jam dari timur ke barat). Kalau konsepnya Budha, mereka akan melakukan hal ini tiga kali sebagai persiapan penyucian batin.

Sore hari selambatnya jam empat saya sudah harus keluar dari areal candi. Saya akan lari kembali ke Terminal Borobudur. Ya ampun, sebegitu capeknya lari dan naik turun candi, dulu itu kok ya tidak terasa. Sekarang, lari 5 km pp tiap hari saja saya banyak ogahnya. Hanya karenaingat harus jaga kesehatan, ya tetap lari.

Bus terakhir yang ke Jogja saat itu jam lima sore. Bus akan sampai Jombor jam enam. Lepas Magrib, saya akan kembali naik bus yang ke kampus (UGM). Zaman itu, bus dari Jombor yang ke kampus sampai jam delapan malam.

Masa kuliah S-1 saya memang penuh perjuangan. Saya kok happy saja menjalani. Tidak terlalu mengambil hati beban sehari-hari. Niat saya kuliah sampai lulus. Kalau sarjana, saya bisa bekerja lebih baik.

Pernah juga saya ditegur petugas candi. Saya kalem mengatakan sebagai mahasiswa dan mencari uang untuk bayar SPP. Saya tunjukkan KTM dan KTP. Setelah ditanyain seputar sejarah Borobudur, saya pun dilepas begitu saja. Pernah dapat rombongan bule dan ada orang lokalnya. Saya mo ngomong Inggris, halah bulenya berbahasa Jawa.

Saat itu saya sudah menulis cerpen di media massa. Yach, tapi honor penulisan kan tidak langsung cair. Belum kalau kiriman weselnya kesasar. Pokoknya kalau saya merasa perlu uang cepat, saya pasti lari ke Borobudur. Entah saja, pulang pasti bawa uang banyak.

Saya nyeselnya waktu itu kok belum mikir beli kamera ben ada dokumentasi. Yaelah, jangankan kamera. Bisa terus kuliah bae wes syukur alhamdulillah. Untungnya kuliahnya di Ilmu Budaya. Tugas-tugas tidak seekstrem mereka yang kuliah di Teknik atau Kedokteran.

Setelah saya lulus sarjana, bekerja menetap hanya libur di hari Minggu. Praktis saya tidak menengok lagi Borobudur. Apalagi setelah saya ke Jakarta. Bertahun-tahun tidak lagi menengok peninggalan Dinasti Syailendra ini. Baru ketika saya studi S-2, beberapa kali menengok Borobudur. Persinggungan saya dengan Borobudur lebih dekat saat saya studi S-3.

Pembimbing saya meminta agar saya memeriksa langsung keberadaan sumber data di Candi Borobudur. Saya terdiam sejenak. Memeriksa relief demi relief Borobudur itu tidak bisa sehari. Sekurangnya tujuh hari sampai sepuluh hari berturut-turut. Jelas pengeluaran yang tidak sedikit. Masa jelang studi S-3 saya berakhir itu sungguh berat buat saya. Tabungan semakin menipis, sementara saya tidak bisa bekerja full. Hanya bisa mengerjakan hal kecil-kecil yang uangnya pun tidak banyak.

Setelah kasak kusuk mencari cara untuk meringankan beban saya ke Borobudur berhari-hari dan tanpa hasil, saya pun diam. Bukan tidak punya duit, tapi sudah ada posnya. Observasi ke Borobudur ini tidak termasuk dalam anggaran saya. Juga bukan tipikal saya untuk mengeluhkan uang pada pihak lain, saudara sekalipun.

Tiba-tiba teman jauh yang saya tidak terlalu kenal menelpon. Menanyakan apakah saya bisa menggantikan tugas orang lain untuk membuat narasi. Objeknya foto-foto dari candi-candi di Jawa Tengah, termasuk Borobudur. Dia mendetailkan tugas saya. Begitu mendapatkan keterangan bahwa saya harus ikut ngecek ke lapangan, yang berarti saya ikut ke Borobudur berhari-hari; saya langsung bilang bisa.

Setelah saya menyanggupi, dia segera mengirimkan detail dan contoh pekerjaan. Saya hanya tersenyum. Bikin narasi begitu siy gampang buat saya. Tidak lama dia mengirimkan foto dua orang, satu driver merangkap fotografer, satu asisten yang akan membantu saya. Besok pagi, mereka berdua akan menjemput saya di Jogja dan bersama-sama ke Magelang. Semua sudah diurus. Saya cukup membawa baju secukupnya dan piranti kerja.

Keesokan harinya saya dijemput pagi-pagi. Kami bertolak ke Magelang. Check in hotel, mematangkan rencana kerja yang sudah kami bahas di perjalanan. Kami pun segera turun ke lapangan. Makan siang dan malam di luar. Sarapan pagi ikut di hotel. Saya gembira, hidup terasa nyaman sekali. Kerja pagi sampai sore. Malam kami masih kelayapan sampai jam sepuluh. Kalau saya sedang capek, ya bermalasan saja di hotel. Tidak mengekor mereka dolan.

Saya tetap mengerjakan disertasi di sela-sela pekerjaan. Selama bekerja, dua orang yang dikirim itu mengurusi saya dengan baik. Si asisten ini memberikan amplop kepada saya setiap hari sebagai uang saku —versi saya jumlahnya cukup besar. Semua keperluan, jajan ini itu, bensin, parkir, tiket, dll. dia juga yang membayari karena dia yang bawa uang.

Karena pekerjaan inilah, saya bisa mengakses Borobudur dari ketinggian. Saya beruutung menyaksikan mahakarya ini pagi-pagi di saat fajar, pas siang bolong, saat sore bertabur senja, atau ketika malam gulita. Semuanya indah dan istimewa. Hampir sebulan ketika pekerjaan itu selesai, saya merasa beneran gembira.

Saya tuntas menarasikan Borobudur dan candi-candi lain yang menjadi tanggung jawab pekerjaan. Saya sudah tidak berpikir tentang bayaran lagi. Uang saku yang saya terima harian itu jumlahnya belasan juta. Utuh karena semua keperluan saya selama kerja sudah ditanggung penuh. Pas pekerjaan rampung, saya masih menerima bayaran tunai puluhan juta.

Rezeki nomplok. Alhamdulillah. Saya yang saat berangkat kerja seperti orang sekarat kekurangan darah, langsung segar bugar hidup lagi karena pasokan darah segar. Borobudur turut menyelamatkan studi S-1 dan S-3 saya. Borobudur juga mengajari saya bekerja praktis. Pihak yang berkepentingan harus membereskan biaya-biaya dan aneka urusan, termasuk izin-izin. Saya hanya bekerja sebagai penulis dan menerima fee penuh sesuai kesepakatan.

Keriuhan kenaikan harga tiket Candi Borobudur, memang terasa tidak menyenangkan. Bagi sebagian orang 750 ribu bisa jadi mahal, tapi bagi sebagian yang lain itu tidak lebih dari harga sekali makan di restoran. Saya pun, pasti mikir-mikir bayar tiket segitu kalau tidak ada kepentingan dengan candi.

Toh saya sependapat dengan pembatasan jumlah pengunjung yang naik ke candi. Mekanismenya seperti apa, mungkin bisa dipertimbangkan dan diatur lagi. Tidak sekedar menaikkan harga tiket ke candi. Ada banyak tempat wisata yang lebih mahal toh tetap ramai. Pemerintah dan pihak berwenang perlu merumuskan cara lain di luar kenaikan tiket untuk mendukung program pelestarian Borobudur. Termasuk candi-candi lainnya.

 

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *