Brokohan: Selamatan Bayi Lahir

Artikel ini telah dimuat di nongkrong.co pada hari Sabtu, 28 Mei 2022 dengan link berikut ini https://www.nongkrong.co/lifestyle/pr-4313470327/brokohan-selamatan-untuk-bayi-lahir

Kelahiran bayi merupakan salah satu siklus penting dalam kehidupan orang Jawa. Manusia dalam siklus hidupnya akan memulai kehidupan dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, berkeluarga, membesarkan anak-anak, tua, renta, dan mati. Siklus kehidupan yang terus berulang pada setiap kehidupan.

Kelahiran bayi merupakan hal yang istimewa. Karena ada banyak perempuan yang mengandung bayi, tetapi tidak sampai melahirkan bayinya. Hal itu bisa disebabkan karena kecelakaan, meninggal, keguguran akibat sakit, tindakan medis pengangkatan janin demi penyelamatan jiwa si ibu, terpaksa aborsi, dll.

Oleh karena itu, kelahiran bayi dan keberadaan bayi yang lahir dengan sehat, selamat, sempurna tubuh fisiknya, merupakan anugerah bagi suami istri dan keluarga besarnya di kalangan orang Jawa. Mereka telah memiliki satu generasi penerus  untuk kelanggengan trah dan keturunannya.

Demi rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah itulah, orang Jawa kemudian mengadakan selamatan atau upacara selamat dengan mengadakan berkatan atau membagikan berkat berupa beberapa makanan dengan aturan tertentu dan doa selamat agar bayi terus hidup sehat, selamat, sejahtera, damai berkah hidupnya sepanjang masa sampai akhir hayatnya.

Selamatan bayi di kalangan orang Jawa sekurangnya ada enam, yaitu (1) brokohan —ketika bayi lahir, (2) sepasaran —5 hari dari bayi lahir, (3) selapanan —36 hari dari bayi lahir, (4) telonan —3 bulan dari bayi lahir, (5) pitonan —7 bulan dari bayi lahir, dan (6) setahun —1 tahun dari bayi lahir. Masing-masing selamatan ini memiliki aturan dan ketentuan yang berbeda-beda.

Sebagian masyarakat Jawa mengadakan acara selametan bayi tersebut tidak persis di hari perhitungannya. Misalnya bayi lahir hari ini, maka selamatan brokohan akan dilakukan keesokan harinya. Tujuan dari sedikit masa penundaan ini adalah untuk membiasakan si bayi agar kelak di kemudian hari tidak sakdeg saknyet (meminta segala sesuatu seketika itu juga). Harapannya dengan terbiasa sedikit ditunda haknya sedari lahir, si bayi akan memiliki sifat sabar, welas asih (penuh kasih sayang), dan tidak semena-mena pada pihak lain.

Pada kesempatan ini, saya mengulas tentang satu selamatan bayi yang paling awal, yaitu brokohan. Kata brokohan bukan asli dari bahasa Jawa. Istilah brokohan berasal dari serapan bahasa Arab barokah —berkah; yang berarti memohon berkah dari Allah SWT atas kelahiran si bayi dengan cara menyiapkan nasi berkat untuk kenduri dan doa bersama.

Namun seperti kita ketahui bersama, orang Jawa lidahnya ya orang Jawa. Mereka sulit untuk mengucapkan kata barokah, sehingga serapan itu menjadi brokah. Selanjutnya kegiatan memohon barokah itu menjadi brokahan, —penanda akhiran —an dalam bahasa Jawa berarti kegiatan, seperti syawalan, natalan, dll. Dari kata brokahan itulah yang selanjutnya menjadi brokohan, seperti yang kita kenal sekarang.

 Dalam perkembangan selanjutnya, brokohan dikenali sebagai upacara selamatan bayi saat bayi lahir. Selamatannya lebih sebagai pengiring prosesi penguburan atau pemendaman ari-ari bayi yang sudah dipotong. Ari-ari bayi yang lahir dipotong, kemudian dikubur atua dipendam dalam tanah. Biasanya kalau orang Jawa beranggapan, ari-ari bayi laki-laki dipendam di halaman depan rumah. Sedangkan ari-ari bayi perempuan dipendam di halaman belakang rumah. Setelah itu, tanah di atas pendaman ari-ari bayi tadi akan diberi penanda berupa kerobong, tutup dari bambu atau dipagari dan diberi penerangan lampu di waktu malam.

Orang Jawa melakukan hal ini karena mereka menganggap ari-ari bayi merupakan teman lahir si bayi ke dunia. Ari-ari bayi atau dalam dunia medis modern disebut dengan plasenta inilah yang mengirimkan segala keperluan bayi selama dalam kandungan, hingga tiba saatnya dilahirkan ke dunia. Pihak yang wajib mengubur ari-ari bayi adalah si bapak atau orang tua laki-laki si bayi. Tindakan ini merupakan simbol atau bentuk tanggung jawab orang tua laki-laki kepada anaknya.

Menu wajib dalam selamatan brokohan ini adalah (1) sega ingkung (nasi ingkung ayam), (2) sega gudangan (nasi dengan sayuran dan kelapa parut yang sudah diolah),  (3) bubur abang putih (bubur merah dan putih), dan (4) jajan pasar. Masing-masing menu tersebut memiliki makna filosofis yang berbeda-beda.

Pertama, Sega Ingkung (Nasi Ingkung Ayam)

Nasi ingkung ayam melambangkan simbol permohonan perlindungan pada bayi yang baru lahir tersebut. Kata ingkung sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Jawa Kuno ‘jinangkung’ dan ‘manekung’. Jinangkung berarti melindungi, mengayomi, menjaga. Manekung berarti bersujud, menghamba, memohon sungguh-sungguh dan dengan merendahkan diri.

Secara umum ingkung berarti bersujud, bermohon, menghambakan diri (pada Tuhan) untuk mendapatkan perlindungan, penjagaan, dan pelimpahan berkah. Dengan adanya ingkung pada saat selamatan bayi, merupakan tanda permohonan kepada Tuhan agar selalu menjaga dan melindungi bayi tersebut dari segala aral marabahaya.

Adapun pemilihan ayam sebagai bahan ingkung karena ayam itu merupakan simbol dari kelahiran bayi tersebut. Itulah sebabnya wujud ingkung adalah ayam utuh yang dimasak dan disajikan secara utuh dalam bentuk tersungkur.

Kalaupun sekarang ini ingkung ayam banyak dijual bebas di pasaran sebagai pendukung pariwisata budaya, tetapi pada saat-saat tertentu, ingkung ayam dibuat dengan tujuan sakral dan penuh filosofis.

 Kedua, Sega Gudangan (Nasi dengan Sayuran dan Kelapa Parut Yang Sudah Diolah)

Nasi dalam hal ini merupakan nasi putih yang lengket (diolah dari beras yang baik, sehingga nasinya dapat lengket satu sama lain). Nasi putih ini melambangkan kedekatan si bayi kelak dengan sesama. Artinya si bayi dapat hidup rukun bermasyarakat dengan warga lainnya.

Adapun gudangan terdiri aneka sayuran rebus, lauk pauk, dan kelapa parut yang sudah dibumbui dan dimasak atau lebih dikenal dengan urap. Bumbu urap ini menandakan adanya kehidupan. Hidup itu harus urip, urap yang berarti mampu menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya agar dapat berbahagia.

Sayur yang terdapat dalam gudangan biasanya terdiri dari tauge, kacang panjang, dan bayam. Taoge atau kecambah melambangkan pertumbuhan. Seseorang harus terus tumbuh semakin baik dari hari ke hari. Sementara kacang panjang menyimbolkan panjang umur, kehidupan yang harus dipikirkan panjang-panjang (matang, teliti, cermat), sehingga bisa mengambil tindakan yang tepat dan bijaksana. Adapun bayam menandakan harapan untuk hidup yang tenteram sejahtera, makmur damai, bahagia di dunia dan akhirat.

Sementara lauknya berupa ikan asin atau gereh pethek goreng, tempe rebus atau goreng, dan telur rebus. Ikan asin menandakan kerukunan hidup bersama. Hal ini dilihat dari sifat gereh pethek yang hidup di laut secara bersama-sama atau bergerombol. Manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk sosial.

Adapun tempe menunjukkan kesederhanaan. Tempe merupakan salah satu olahan kuliner orang Jawa yang menjadi makanan semua kalangan. Sedangkan telur rebus menandakan ketelitian, kehati-hatian dalam bertindak. Seperti sifat telur mentah kalau tidak hati-hati, sedikit terkena benturan saja langsung pecah. Itulah sebabnya harus direbus (digodok pemikirannya) agar matang sebelum bertindak. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Secara umum sega gudangan ini melambangkan harapan pada si bayi agar kelak menjadi dapat hidup rukun dengan sesama, hidup sederhana, sehat, bahagia, panjang umur, hati-hati dalam bertindak, dapat menghidupi keluarga, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketiga, Bubur Abang Putih (Bubur Merah Dan Putih)

Bubur merah putih merupakan representasi lelaki dan perempuan dalam kehidupan. Bubur merah putih melambangkan kerukunan hidup antara lelaki dan perempuan. Diharapkan dengan rukunnya orang tua baik lelaki maupun perempuan, si bayi akan mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang penuh dengan kasih sayang.

Proses pembuatan bubur merah putih untuk acara ritual seperti ini tidak bisa dibuat secara sembarangan. Ada doa dan resep khusus demi hasil yang terbaik. Pemasak bubur pun tidak boleh perempuan yang sedang datang bulan. Konon kalau pemasak buburnya sedang datang bulan, rasa bubur menjadi tidak sedap dan tidak enak.

Keempat, Jajan Pasar. 

Jajan pasar dalam kehidupan orang Jawa sangat banyak macamnya. Kalau disebutkan secara rinci, mungkin ada lebih dari seribu jenis. Namun dalam tradisi selamatan brokohan ini orang Jawa umumnya menggunakan sekurangnya tujuh macam jajan pasar. Ketujuh jajan pasar itu misalnya (a) wajik, (b) jadah, (c) onde-onde, (d) lupis, (e) klepon, (f) nagasari, dan (g) lemper.

 Tidak ada aturan baku berkaitan dengan jumlah jenis jajan pasar yang perlu disediakan ini. Secara umum, semakin mampu seseorang biasanya jenis jajanan pasar yang ada dalam berkatannya semakin banyak.

Jajan pasar ini secara umum melambangkan aneka rupa warna kehidupan yang akan dihadapi oleh si bayi di masa depan. Artinya, dalam kehidupan itu tidak hanya ada satu hal yang terasa manis, tetapi kadang juga asam, asin, pahit, hingga pedas. Harapannya dengan mengetahui aneka rasa tersebut, si bayi kelak tidak terkejut menghadapi beragam peristiwa kehidupan.

Menu selamatan ini akan diberikan doa selamat oleh tetua atau orang yang dituakan di lingkungan keluarga. Kadang-kadang membayar dukun atau tetua adat. Baru kemudian dimakan bersama. Sebagian diantarbagikan ke tetangga dan kerabat dekat.

Sekarang ada banyak orang Jawa yang mengganti semua komponen menu brokohan tersebut dengan sembako (beras, minyak goreng, gula, mie instan dll) demi kepraktisan dan kemudahan. Selain itu juga untuk alasan bahan mentah lebih tahan lama daripada masakan matang. Apabila masakan matang dikirimkan dan tidak segera dimakan, maka makanan tersebut akan menjadi basi dan dibuang.

Di lingkungan tradisional masyarakat Jawa, selamatan brokohan ini masih dilakukan. Kalaupun berkat yang dibagikan tidak banyak, tetapi syarat dan ketentuan dasar pelaksanaan brokohan tersebut telah memenuhi syarat. Kalau orang Jawa bilang, nggo syarat atau syarat dasar selamatannya telah terpenuhi. Ada sebagian masyarakat yang berpandangan kalau selamatan ini tidak dilaksanakan sesuai aturan, nantinya akan terjadi brahala ‘celaka’ dan rubeda ‘keribetan, banyak masalah’ pada si bayi dalam kehidupannya.

Namun di lingkungan perkotaan, tradisi seperti ini sebagian besar sudah dilupakan atau dihilangkan. Mereka yang beretnis Jawa, sebenarnya tahu tradisi ini, tetapi sengaja tidak melakukannya. Selain karena pertimbangan biaya dan keribetannya, mereka yang beragama Islam juga cenderung memberlakukan satu sikap melakukan aqiqah. Dengan menyembelih seekor kambing bagi anak perempuan, atau menyembelih dua ekor kambing bagi anak laki-laki, buat selamatan, lalu semuanya selesai. Tentu setiap orang berhak memilih pandangannya masing-masing.

Tetap baik juga berbagai selamatan brokohan karena ini secara praktis memberitahukan kepada tetangga, kerabat dekat, dan lingkungan sekitar tentang kehadiran warga baru. Selamatan itu juga bukti bahwa keberadaan bayi telah lahir selamat dan ibunya dalam keadaan baik. Bukankah bijak untuk mewartakan berita baik dengan berbagi kegembiraan?

 

Catatan:

Penulis adalah peneliti budaya Jawa dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta. Web pribadi: arikinoysan.com

 

 

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *