Pendidikan Nasional: Belajar dengan Gembira

Tulisan ini sudah dimuat di penabicara.com hari Kamis, 12 Mei 2022 dengan link berikut ini: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063383757/pendidikan-nasional-belajar-dengan-gembira?fbclid=IwAR00brdhD4HmC0n9-wfv-k1HSTbcOOp7xl_gbo_TSZQXIULYT0EV-3a3gNc

Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei sudah lewat beberapa hari. Namun karena pas hari itu kita masih merayakan Idul Fitri atau berlebaran, maka saya baru mengulas materi ini sekarang. Menurut saya, pendidikan tetap akan menjadi tema atau bahasan yang selalu up to date; karena di dalam pendidikan itu selalu ada proses belajar terus menerus untuk memperbaiki kehidupan.

Saya termasuk orang yang mempercayai bahwa pendidikan tinggi adalah satu-satunya jalan untuk memangkas kemiskinan. Kita secara langsung atau tidak langsung dapat melihat, mereka yang memiliki pendidikan tinggi —secara umum memiliki tata ekonomi yang lebih mapan. Tidak selalu seperti itu, tapi kecenderungan umum begitu. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal lebih layak (tinggi), bisa mengakses pekerjaan formal secara lebih luas dibandingkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.

Oleh karena itu, meskipun bertahun-tahun sejak belia saya adalah freelancer sebagai penulis profesional, saya tetap memutuskan untuk sekolah tinggi. Saya melihat bahwa sekolah formallah yang membantu kita berpikir secara teoretis dan konstruktif. Sekolah formal mendorong kita untuk terbiasa melihat segala sesuatu secara sistematis dan menyeluruh. Sekolah tinggi bagi saya bukan semata-mata demi menambah gelar dan ijazah —yang ora payu ‘tidak laku’ di dunia freelancer, tetapi tentang membentuk pola pikir dan meluaskan jaringan atau relasi.

Saya bersyukur bahwa Tuhan sudah memberikan kepada saya kesempatan sekolah formal sampai tingkat tertinggi. Dan inilah yang menjadi persoalan ketika kemudian saya ditanya oleh mereka yang ingin menempuh sekolah tinggi; bagaimana cara lulus dari salah satu kampus terbaik dengan waktu yang sangat cepat. Pertanyaannya mudah, tetapi untuk menjawabnya saya perlu waktu untuk sedikit berpikir.

S-1 Sastra Indonesia UGM saya tempuh 3 tahun 1 bulan, S-2 Ilmu Linguistik UGM saya selesaikan 1 tahun 4 bulan, S-3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM saya rampungkan 3 tahun 3 bulan. Saya bejo alias beruntung dengan latar belakang anak desa nun jauh di Tulungagung, bisa mengenyam pendidikan tinggi di kampus biru ini. Waktu studi yang singkat, tidak menghalangi saya untuk menjadi bagian dari lulusan-lulusan terbaik.

Waktu studi yang singkat itu bisa saya tempuh, salah satu faktornya adalah kuliah dengan biaya mandiri alias mbayar dhewe. Semakin lama studi saya, tentu semakin besar biaya yang harus saya keluarkan. Kuliah dengan bekerja, tentu tidak sama dengan mereka yang hanya fokus kuliah dan dibiayai. Karenanya sejak awal kuliah, saya merasa wajib bertemu pembimbing dan dosen terkait untuk membicarakan soal masa studi dan cara agar saya bisa lulus cepat.

Selain itu, saya yakin yang mendorong saya lulus cepat adalah belajar dengan gembira. Saya senang pada materi pembelajaran yang saya pilih. Tantangan dan hambatan selama masa studi menjadi seperti lewat begitu saja. Jatuh bangun kuliah demi mendapatkan hasil terbaik, tidak menjadi beban bagi diri saya. Semua dapat saya lalui dengan hati riang gembira sebagai proses yang membuka mata ilmu saya.

Jauh sebelum saya menempuh pendidikan tinggi, tentu saya juga harus melewati masa pendidikan yang bernama sekolah —pendidikan dasar. Ada banyak kegembiraan sekolah di masa saya belia. Karena dulu saat masuk SD (Sekolah Dasar) tidak ada kewajiban untuk anak harus punya ijazah TK (Taman Kanak-Kanak) apalagi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Jadi, saya sekolah mulai dari SD (Sekolah Dasar). Sekolahnya pun sekolah pemerintah, sekolah negeri. Kurikulum yang saya terima, tentu sesuai dengan kurikulum negara. Anak-anak masuk jam tujuh pagi dan pulang jam sepuluh siang untuk kelas satu dan dua. Selanjutnya setelah kelas tiga, masuk kelas jam tujuh pagi pulang jam dua belas siang. Setelah masuk SMP (negeri) dan SMA (negeri), sekolah pun tetap masuk kelas jam tujuh pagi dan pulang jam dua belas siang.

Apesnya karena orang tua saya terbatas secara ekonomi dan harus menyekolahkan enam orang anaknya, maka kami tidak dileskan ini itu atau diikutkan kursus pelajaran beragam. Waktu kami bebas untuk bermain di siang hari sampai tiba jam tiga sore. Jam empat sampai enam sore, saya bersaudara masuk pesantren untuk belajar agama Islam dari belia sampai lulus SMA.

Semuanya berlangsung begitu saja dengan kegembiraan. Ke sekolah, ke pesantren, saya gembira. Selain bertemu teman-teman ya karena sekolah tidak terlalu lama. Tugas-tugas sekolah dan dari pesantren ada, tapi tidak banyak dan tetap bisa dikerjakan dengan bermain-main. Saya pikir gembira dalam belajar itulah yang harus kita terapkan pada diri kita; bahkan saat kita bekerja. Hati yang riang gembira akan menjadikan semua proses sulit terasa lebih ringan dan mudah.

Mari kita lihat kondisi dunia pendidikan sekarang. Setiap anak yang mau masuk SD sudah harus punya ijazah PAUD dan TK. Selain itu ada semacam tuntutan masuk SD sudah harus bisa baca tulis. Sebagian sekolah swasta masih ditambah syarat pemenuhan lulus seleksi sesuai dengan standar yayasan.

Melihat anak-anak balita (PAUD dan TK) sudah menggotong tas berat berisi buku-buku atau materi pelajaran, bikin saya miris. Keponakan-keponakan saya pun begitu. Demi bisa lulus PAUD dan TK sebelum sekolah di SD. Mereka masuk kelas, berinteraksi dengan teman-teman, tapi dengan banyak pelajaran yang dituntut harus bisa, harus lulus. Versi saya, pendidikan dasar selazimnya memperkenalkan adab demi membentuk kepribadian yang baik. Bukankah semestinya proses belajar itu adab dulu baru ilmu?

Saya tidak hendak menyalahkan pembuat keputusan dunia pendidikan. Saya lebih ingin melihat beban pada anak-anak belia. Alangkah baiknya kalau mereka benar-benar “sekolah bermain”; tidak perlu dites ini itu demi selembar ijazah yang tidak berarti apa-apa.

Lha mbok yakin, ijazah PAUD sama TK itu lho, untuk apa nantinya saat mereka dewasa? Tidak berguna. Bahkan sekarang untuk ijazah SD, SMP, dan SMA pun bisa dianggap “tidak berguna” karena ora payu di dunia kerja. Dunia kerja kita (terutama yang formal) sudah menuntut minimal sarjana untuk setiap kesempatan.

Toh nyatanya banyak dari kita sebagai orang tua yang tergila-gila memfasilitasi anak-anak dengan beragam kesibukan sekolah sejak dini. Setelah anak-anak masuk SD, SMP, SMA —orang tua pun latah untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik dengan biaya mahal dengan beban kurikulum yang berat.

Semua itu menjadikan anak-anak ini seperti robot yang menghabiskan waktunya di ruang pembelajaran. Mereka tidak lagi memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Waktu mereka habis untuk sekolah dan tugas-tugas. Belum lagi les atau kursus ini itu —demi ambisi orang tua.

Sekolah telah menjadi “momok” bagi sebagian anak. Pembelajaran tidak lagi terasa menyenangkan. Sekolah telah menjadi kewajiban semata bagi sebagian pelajar. Banyak anak kehilangan minat belajarnya justru karena beban belajar yang berlebihan. Beban yang berat itu masih harus diikuti dengan serangkaian tuntutan dari orang tua yang ingin anaknya selalu juara. Mereka memberikan beban “belajar” tambahan yang berbiaya tinggi, demi anak-anak bisa menjadi juara-juara atau posisi-posisi terbaik. Juara di sekolah, juara di berbagai kegiatan lomba.

Saat memperoleh kejuaraan tersebut, apakah anak-anak itu bergembira? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Tapi yang jelas orang tuanya pasti gembira. Mereka merasa telah “berhasil” mendidik anak-anaknya menjadi generasi terbaik, terpandai, terpintar, dll sebutan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibahas.

Bagi anak, seperti yang pernah saya alami di masa belia, kegembiraan yang paling benar adalah bermain bersama teman-teman, tertawa tanpa beban pekerjaan rumah atau tugas-tugas sekolah. Bisa jadi, kegembiraan anak versi sekarang sudah berubah; tetapi kalau beban sekolah terlalu berat akan menjadikan anak justru tidak tumbuh kembang secara optimal.

Saya tahu, kurikulum sekolah bertujuan baik untuk mendidik generasi yang terampil, cerdas, terbuka dan mampu berkompetensi di tengah kemajuan global. Tujuan yang sangat mulia. Pendidikan menjadi ujung tombak pembangunan mental suatu bangsa. Tapi perlukah itu semua untuk anak-anak di usia pendidikan dasar hingga SMA? Hingga kita harus rela mengorbankan masa bermain anak-anak?

Hanya pemikiran sederhana saya, bukankah lebih baik kalau pendidikan dasar itu anak-anak diajak untuk “beradab” dan setelah lepas SMA barulah dibawa untuk “berilmu”? Beradab tentu saja berarti memiliki adab yang baik dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian dari pendidikan dasar kita akan mendapatkan generasi yang tahu apa artinya antri, mengerti bagaimana tertib berlalu lintas, menghormati orang tua, menyayangi yang lebih muda, menghargai perbedaan, dll.

Dari pendidikan dasar ini akan “tercipta” generasi bangsa yang beradab dan berkepribadian luhur. Setelah anak memasuki masa perkuliahan barulah kita menuntut mereka untuk “berilmu”. Mereka bisa memiliki ilmu sesuai dengan passion masing-masing agar dapat berkompetisi di dunia kerja.

Tentu pemikiran ini, bukan sesuatu yang mudah untuk diterapkan dengan kultur pendidikan di Indonesia. Negeri kita ini sangat gila gelar dan ijazah. Ada banyak orang yang merencengi gelar tanpa kontribusi yang tetap diagung-agungkan. Sementara ada banyak orang tanpa gelar dengan kontribusi besar pada masyarakat, justru dipandang dengan sebelah mata.

Perlu satu tata perubahan keputusan dan keberanian untuk menjadikan pendidikan di Indonesia lebih “beradab” dan “berilmu” untuk mencetak generasi-generasi terbaik. Perlu kebesaran hati kita para orang tua untuk mengizinkan anak-anaknya belajar dengan gembira. Biarkan mereka memilih jalur pendidikan yang sesuai minat dan bakatnya.

Siapkah kita untuk itu? Bersediakah kita memberi ruang kepada anak-anak untuk gembira saat sekolah? Bisakah kita membebaskan mereka untuk tidak menjadi juara-juara di setiap hal?

Sekurangnya jawaban dari pertanyaan itulah yang dapat menolong anak-anak kita untuk tetap belajar dengan gembira. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itulah, yang membuat kita lebih arif ketika mendapati anak-anak kita ternyata tidak selalu menjadi anak-anak nomor satu. Gembira dalam belajar, sejatinya membawa kegembiraan dalam kehidupan. Hati yang riang gembira adalah obat dari segala persoalan kehidupan.

#tulisanmedia #publikasimedia #mediaonline #ariwulandari #kinoysanstory #pendidikannasional #belajardengangembira

Ari Kinoysan Wulandari

 

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *