Lebaran: Sudah Lebarkah Hati Kita?

Tulisan ini sudah dimuat di penabicara.com hari Kamis, tanggal 5 Mei 2022 dengan link berikut ini: https://www.penabicara.com/ruang-ngopi/pr-2063346820/lebaran-sudah-lebarkah-hati-kita?fbclid=IwAR0NY-xPBf5n-EiMDJyQWxx6LjzCDA5MWGRXl76vKoWlo3yPks-NzsQ4Wng

Mari kita ingat sejenak Ramadan 1443 H, bulan puasa kita tahun ini sebelum lebaran. Ramadan di bulan April 2022 ini, tidak terlalu mudah bagi sebagian orang Indonesia. Kehadiran saat puasa dibarengi dengan kenaikan harga aneka macam kebutuhan. Yach, nyaris sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ramadan adalah bulan ketika banyak orang menganggap sah kenaikan harga segala macam keperluan.

Toh Ramadan tahun ini terasa berbeda dari bulan-bulan puasa sebelumnya. Selain kita masih dalam masa pandemi, sebelumnya kita telah dihebohkan dengan kasus menghilangnya minyak goreng dari pasaran. Kalau pun ada minyak goreng, harganya tidak seperti biasa alias membubung tinggi. Sosial media (sosmed) kita begitu riuh berpantun tentang minyak goreng ini.

Sebaliknya, di tengah hiruk pikuk kelangkaan minyak goreng dengan harga meroket, kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) berlangsung begitu senyap. Dominasi rumpian ibu-ibu terhadap minyak goreng meredam keributan yang biasa timbul kalau BBM naik. Kita pun maklum, begitu BBM naik —naik pulalah semua harga barang kebutuhan pokok.

Kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 10 persen menjadi 11 persen, juga nyaris tidak terdengar. Seolah ini menjadi hal yang wajar saja. Sebagai warga negara yang patuh kepada pemerintah, tentu kita wajib mengikutinya. Protes pun, tidak membuat harga-harga dan ketentuan itu turun.

Semua akan terus berjalan sesuai yang telah ditetapkan. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Pilihannya ada pada diri kita masing-masing, mau memakai atau tidak. Kalau pakai ya bayar sesuai harga; kalau tidak pakai, ya sudah diam saja.

Semua proses kenaikan harga itu rasanya teredam dengan keriuhan umat Islam dalam menentukan awal bulan Ramadan. Rupanya isu pencarian hilal atau penampakan bulan sebagai penanda awal Ramadan, jauh lebih seksi di kalangan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Sudah bisa ditebak, awal Ramadan tidak sama.

Ramadan kali ini pun diwarnai dengan beragam kejadian memilukan. Sejak awal Ramadan, sepanjang Ramadan, hingga akhir Ramadan —telah banyak peristiwa yang menuntut kesabaran kita. Selain kenaikan beragam harga, selama Ramadan kita kali ini tidak lepas dari demo-demo —yang semula dijanjikan berlangsung damai, berubah menjadi anarkhis. Beragam tindak kejahatan pun tidak terhenti sepanjang Ramadan.

Kekerasan dengan beragam bentuk menjadi tontonan live yang memilukan jiwa. Betapa nyeri hati kita, saat ada pihak-pihak yang menganggap kekerasan di negeri kita boleh saja untuk mereka yang dianggap “tidak segolongan”. Astaghfirullah hal adzim…. Lupakah mereka yang membuat pernyataan itu? Bahwa sekalipun tidak bersaudara dalam agama, semua umat itu bersaudara dalam kemanusiaan?

Ramadan yang dianggap sebagai bulan suci dengan seribu berkah dan ampunan, bulan saat setan-setan dipenjara, ternyata tak cukup mampu memenjarakan nafsu angkara murka kita. Betapa banyak kejahatan yang semestinya terhenti karena Ramadan, justru menyeruak dengan hebatnya di padang terang bulan suci.

Apapun kegaduhan kita sepanjang awal hingga akhir Ramadan, alhamdulillah kita sudah melewati masa Ramadan yang penuh suka cita. Gema takbir yang mengalun indah di seluruh negeri, menjadi penanda datangnya Idul Fitri. Lebaran telah tiba.

Allaahu akbar…. Allaahu akbar…. Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil hamdu….

Ketika suara takbir sudah bersahutan dari satu masjid dengan masjid lain, dari mereka yang takbir keliling, dari lorong-lorong sunyi yang tetiba hidup meriah, pertanda lebaran jelang tiba. Alhamdulillah, lebaran 1443 H berlangsung serentak di Indonesia. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2022 menggeser dengan  sukses peringatan Hari Buruh Internasional (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) di Indonesia.

Semua orang Indonesia nyaris larut dalam kemeriahan lebaran; zakat, THR (Tunjangan Hari Raya), kue-kue khas lebaran, parsel, takbir keliling, mudik, sholat ied, ketupat opor, salam dan salim silaturahmi, bermaafan – memaafkan, baju baru, angpao, dll. Semua terasa begitu meriah dan hidup. Kita berasa baru lebaran lagi.

Yach, terutama karena tahun ini pemerintah mengizinkan kita untuk mudik lebaran. Alhamdulillah, setelah dua tahun kita “diminta” tidak mudik lebaran karena pandemi. Gegap gempita mudik lebaran menjadi begitu riuh. Jumpa peluk cium saudara kerabat di kampung halaman menjadi seperti sesuatu yang “baru” lagi di lebaran kita kali ini.

Hari kemenangan telah tiba. Hari bermaafan telah datang. Hari kembali suci telah menyapa. Saatnya bersilaturahmi dan bermaaf-maafan di hari yang fitri. Urusan minta maaf dan memaafkan sejatinya bukanlah urusan yang mudah. Setiap orang memiliki kesulitan dan permasalahannya masing-masing untuk perkara meminta maaf dan memaafkan.

Perkara meminta maaf dan memaafkan ini memang cukup mudah diucapkan di mulut, tetapi apakah kita benar-benar telah meminta maaf dan memaafkan secara tulus lahir dan batin kita? Wallahua’alam.

Mari kita cermati satu per satu. Ada banyak konflik terjadi di sekitaran kita. Baik itu antara kita dengan saudara, kita dengan menantu – mertua, kita dengan besan, kita sebagai anak dan orang tua, kita sebagai teman, kita dengan tetangga, kita dengan partner kerja, kita dengan anggota komunitas dll. hubungan sosial antar manusia.

Semua hubungan sosial pada prinsipnya rawan masalah. Sedikit saja salah ucap, salah paham, bisa berakibat fatal. Lalu menjadi masalah yang membesar dan tidak selesai bertahun-tahun. Padahal, kalau semuanya mau berbesar hati, menghadapi, meminta maaf dan memaafkan, bisa jadi urusannya akan segera selesai.

Nyatanya ini tidak selalu mudah. Karena minta maaf dan memaafkan bukanlah berarti siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini berkaitan dengan siapa yang mau mengalahkan ego dan menghargai hubungan yang telah terjalin sebelumnya. Dan momen lebaran, sebenarnya saat yang tepat untuk sedikit menurunkan ego —meminta maaf dan memaafkan lebih dulu. Terutama meminta maaf dan memaafkan secara batin demi kelapangan hati dan jiwa kita.

Meminta maaf dan memaafkan orang-orang yang tidak pernah terlibat konflik dan masalah dengan kita, tentu hal yang mudah. Namun bagaimana dengan urusan meminta maaf dan memaafkan orang-orang yang merugikan kita? Orang-orang yang menghancurkan hidup kita? Orang-orang yang menjegal usaha kita? Orang-orang yang membuat kita sakit hati, luka hati, hingga berdarah-darah?

Tentu tidak mudah untuk meminta maaf dan memaafkan mereka. Bahkan kalau bisa, seumur hidup kita tidak perlu bertemu atau berurusan dengan mereka. “Kan dia yang salah, kenapa harus saya yang minta maaf duluan?”

Seringkah kita merasa begitu? Kalau kita menjadi pihak yang meminta maaf dan memaafkan, sementara pihak lain tidak mau; kita memang tidak mengubah peristiwa yang telah terjadi. Namun sebenarnya, kita sudah mengizinkan diri kita untuk menapaki hari yang lebih baik. Kita sudah melepaskan ego, dengki, kesal, marah, dll perasaan negatif yang mengganjal langkah kita.

“Tapi kelakuannya itu sungguh menjengkelkan. Gara-gara dia, saya rugi sekian… gara-gara dia saya tidak jadi kuliah…, dll.”

Wait…! Kita minta maaf dan memaafkan itu, bukan berarti kita melupakan kelakuan buruk yang pihak lain lakukan pada kita. Kita tetap perlu mencatatnya dalam hati, bahwa ada hal yang perlu kita pertimbangkan lebih dalam —kalau misalnya nantinya kita perlu berhubungan atau berurusan lagi dengan mereka.

Dengan meminta maaf dan memaafkan, kita sudah tidak menyimpan dendam dan kekecewaan, kita sudah melepaskannya. Kita sudah bisa menerima, bahwa memang itulah yang harus terjadi. Kita harus bersegera move on mengejar masa depan kita yang lain. Bukannya malah terus menerus meratapi kesalahan yang diperbuat orang lain pada kita, atau bahkan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.

Ya, karena urusan minta maaf dan memaafkan itu tidak hanya dari kita kepada orang lain; tetapi juga pada diri kita masing-masing. Coba ingat-ingat, berapa banyak kesalahan yang kita lakukan? Berapa banyak perbuatan yang ternyata kita sesali sepanjang hidup hingga saat ini —yang membuat kita tidak bisa memaafkan diri sendiri? Kesalahan yang membuat kita stuck saja di persoalan itu. Sementara hari-hari sudah berlari sangat cepat dengan kemajuan yang luar biasa. Hidup kita pun menjadi terasa berat dan penuh beban.

Padahal kalau kita mau berbesar hati, mengambil hikmah bahwa yang kita lakukan sudah versi terbaik; lalu mengizinkan kita melakukan kesalahan, kekurangan, tidak sesuai harapan; kemudian bergerak memperbaiki diri, tentu lebih banyak hal baik dan indah yang kita peroleh.

Memaafkan diri sendiri berarti kita membuka ruang seluas-luasnya bahwa kita ini manusia. Tidak ada manusia yang sempurna. Seberapa baik kita merancang atau merencanakan sesuatu, kalau tidak tertulis dalam takdir Tuhan, pasti meleset atau tidak tergenggam juga.

Dengan kesadaran manusiawi tersebut, kita menjadi manusia yang ringan langkah. Hidup terasa membahagiakan dan mudah. Kita juga akan menjadi manusia-manusia yang toleran. Kita tidak akan mudah menghakimi atau menghujat orang lain. Karena kita menyadari, bahwa kemanusiaan tertinggi seorang manusia adalah melakukan kesalahan yang manusiawi. Meskipun hal ini tidak berarti boleh menjadi pembenar setiap kesalahan.

Menyadari adanya kesalahan tersebut, menuntut kita untuk minta maaf dan memaafkan diri sendiri. Berdamai dengan semua peristiwa yang tidak menyenangkan yang pernah kita alami. Kalau kita tahu pasti, Tuhan saja Maha Pengampun, mengapa kita sulit minta maaf dan memaafkan orang lain? Mengapa kita mempersulit diri sendiri dengan tidak memaafkan kesalahan-kesalahan kita?

Lebaran ini, mari kita koreksi diri masing-masing. Sudah lebarkah hati kita? Sudah luaskah pintu maaf kita, untuk semua pihak yang ternyata begitu banyak salah kepada kita? Sudah terbukakah hati kita untuk mendahului minta maaf kepada mereka yang menyakiti dan melukai hati?

Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Semakin lapang hati kita, semakin mudah dan bahagia hidup kita. Semakin ringan langkah kita, semakin cerah masa depan kita. Damai sejahtera di bumi dan di surga.

Selamat berlebaran. Selamat Idul Fitri 1443 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Bermohon semua amal baik kita sepanjang Ramadan diterima Allah SWT dan tetap sehat, happy, berlimpah rezeki berkah, panjang umur sampai berjumpa Ramadan tahun depan. Amiiin.

#artikelmedia #publikasimedia #mediaonline #ariwulandari #penabicara #kinoysanstory

Ari Kinoysan Wulandari

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *