Ya, lebaran tahun 2022 sudah lewat beberapa waktu. Namun karena masih bulan Syawal, saya pun mengucapkan Selamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Bermohon doa semua amal kebaikan kita diterima Allah SWT. Dan kita diberi sehat panjang umur berkah, berjumpa lagi dengan Ramadan tahun depan. Amin.
Saya mencatat hal yang paling gado-gado sepanjang tahun-tahun lebaran yang saya alami. Sebagai pengingat agar saya lebih berhati-hati dan tidak menyepelekan gangguan kecil. Lebaran kali ini berbeda. Sebelumnya kita dilarang mudik karena pandemi. Dua kali kita tidak mudik. Lalu tahun ini boleh mudik. Tentu saja, saya senang. Biasanya kalau sudah disebut “mudik” bagi saya tidak sebentar, karena urusannya jadi ke sini ke situ.
Saya wes berniat mudik dengan kereta. Berangkat lebih awal dan pulang lebih akhir. Namun ya ampun, tiket kereta ke arah timur itu sungguh sudah habis sejak entah kapan hari. Adik saya lalu mengatakan ikut mudik saja bareng dia. Akhirnya saya setuju, meskipun itu berarti cuman berangkat berhenti di rumah ibu lalu balik pulang. Capeknya pasti… lalu lintas jelas rame.
Hari Kamis sebelum lebaran, tanggal 28 April saya masih beberes urusan kampus. Di rumah, saya mengepel seluruh ruangan dan membersihkan kamar mandi. Setelah beberes, saya kok merasa pusing luar biasa. Saya pikir karena sahur terlalu awal jam 01 an WIB dini hari. Jadi lewat tengah hari sudah laper dan pusing. Saya pun rebahan menunggu Maghrib. Setelah berbuka, saya minum obat sakit kepala.
Pusing saya tidak kunjung mereda. Lepas jam sembilan malam, saya minum obat pusing lagi dan tidur. Badan rasanya kok tidak karuan. Saya pikir capek karena pekerjaan beruntun. Ya ampun pas sahur, tangan kiri saya bengkak dan nyeri luar biasa saat digerakkan. Saya meneliti tangan saya, tidak ada yang aneh. Saya berusaha mengingat semingguan kerja apa saja. Segera saya mencari minyak rempah, mengolesi semuanya. Rasa nyeri pun berkurang. Mungkin saya terlalu lelah mengetik. Sekitar satu tahun yang lalu, kedua tangan saya hampir bengkak; tapi karena saya sadar cepat, langsung diolesi minyak rempah dan sembuh.
Hari Jumat, saya masih berusaha bertahan dengan minyak oles. Tapi rasa nyeri dan meriangnya itu tidak keruan. Saya senteri tangan dari ujung ke ujung, lalu tampaklah ada bekas sengatan di ruas jari manis. Entah gigitan apa, tidak jelas. Saya mengingat aktivitas saya, dan benar tidak ingat apa yang menyengat dan di mana disengat.
Adik saya pas dengar cerita saya, mengatakan berarti sengatan itu terjadi saat saya kerja. Kalau saya diam, pasti tidak akan terjadi. Karena kalau hening, suara detak jam aja terdengar. Apalagi saya termasuk orang yang peka enam indera.
Adik saya bertanya apa harus dianter ke dokter. Dia bilang nanti sama dokter pasti diberi obat anti nyeri dan obat mengempiskan bengkak. Saya bilang sepertinya kalau sudah tahu sebabnya, saya di rumah saja dengan minum obat anti nyeri. Puasa-puasa, saya yo mager keluar rumah. Tapi itulah yang bikin sakit ini berkepanjangan. Sabtunya sakit saya wes tidak keruan dan ke dokter juga akhirnya.
Begini begitu, dokter bilang itu disengat kelabang atau lipan. Dia cukup takjub melihat begitu bengkaknya (seperti gajah abuh), saya masih sadar dan tidak pingsan, masih bisa jelas berkomunikasi dengan baik. Katanya lipan cukup besar karena racun cukup banyak. Berarti daya tahan tubuh saya luar biasa kuat. Tetap saja saya meringis dengan nyeri dan badan yang tidak keruan rasanya. Panas, meriang, berasa mual, nyerinya sampai punggung saat tangan digerakkan.
Sudah mendapat obat dari dokter, saya tenang. Meskipun jadi tidak berpuasa di ujung-ujung Ramadan karena kudu minum obatnya per tiga jam. Jumat, Sabtu, Minggu, bener-bener siksaan berat buat saya. Minggu malem pas takbiran, saya wes berniat pokmen kudu berangkat Sholat Ied. Ya, berangkat dengan tangan yang masih bengkak, tidak bisa menggenggam, tidak bisa mengangkat bahkan satu bolpoin. Ya Gustiii… ampunilah hamba-Mu ini dan sehatkanlah aku! Begitulah seru saya berulang-ulang dalam hati.
Lebaran saya masih ikut mider silaturahmi di perumahan yang berasa sunyi karena mayoritas mudik. Hanya beberapa keluarga saja yang tinggal. Itu pun karena daerah mudik mereka di sekitaran DIY. Mereka memilih mudik setelah sholat Ied di masjid komplek. Untunglah di deretan rumah saya, ada tetangga-tetangga yang tidak mudik. Begitu tahu keadaan saya, mereka menanyakan apa saya perlu ini itu dan akan membantunya. Saya bilang obat cukup, makan sudah ada frozen food yang aman, bisa gofood. Tapi tetap, mereka membawakan makanan ini untuk saya. Sungguh berkah juga lho, punya tetangga-tetangga yang baik dan peduli. Alhamdulillah.
Dan saya masih berjibaku dengan pengobatan. Kata dokter mestinya 4-5 hari sudah lebih reda nyerinya, tapi pulih 10-12 hari karena saya telat mengobati. Yo wes, semua jadwal halal bi halal dan unjung-unjung tetua di Jogja; saya skip. Bahkan mengirim ucapan selamat hari raya dan membalasnya pun saya terlewat, karena nyeri yang tidak tertahan kalau salah gerak.
Hari Kamis pagi, 5 Mei, adik dan ipar saya memberi tahu rencana perjalanan. Menanyakan apakah saya cukup sehat. Saya bilang oke. Tangan saya sudah tidak terlalu nyeri, bengkak juga sudah mengempis. Dan kesalahan saya itu, tidak tidur di perjalanan. Ngobrol ini itu sama adik dan ipar. Sampai besok siang beneran tidak tidur dan ada jam saya lupa minum obat.
Siang Jumat di rumah ibu —yach, kalaupun kami bisa membayar hotel, tapi lebaran tetap tidur di rumah ibu. Situasinya jelas kami dengan krucilan bocil menjadi seperti pindang. Tidur seadanya. Baru sebentar saya tidur, ponakan saya entah ribut apa dan saya pun tidak jadi tidur. Malem pun kami lebih banyak cerita ini itu.
Ealah, nggak biasa-biasanya ipar saya bilang kalau sepanjang ke rumah ibu belum pernah dolan-dolan jauh. Mereka langsung cari browsing ini itu dan mengajak semua ke pantai keesokan harinya. Ada si bocil yang ulang tahun meminta ke KFC, yang gila —kami dua kali datang, antrian mengular panjang; kalau dijabanin itu lebih dari dua jam.
Saat mendengar rencana ke pantai itu, mestinya biar saja mereka pergi dan saya tidur di rumah ibu. Tapi kalau nggak sekarang njur kapan bisa sama saudara-saudara yang jauh-jauh. Yo wes saya ikut. Di pantai lho saya tidak banyak aktivitas. Mung keliling naik perahu dengan keluarga. Ciblon main air pun tidak. Tapi ini yo berasa bising… Pantai Gemah penuh sesak. Selain karena kurang sehat, saya malas berliburan di sesak kerumunan.
Setelah bebersih diri selepas keliling laut, kami nyari souvenir, sambil beli makanan kecil ini itu. Wes pulang. Makan-makan. Beberes njur sore balik Joga. Dan begitulah dosa-dosa saya akibat lupa minum obat yang berdurasi tiga jam itu, malamnya tangan saya luar biasa nyeri. Meriang, panas, beneran wes gak enak di badan. Berusaha tidur tapi nggak bisa tidur. Sampai Jogja lagi, saudara saudara dan ipar saya masih dolan liburan lebaran. Saya wes memutuskan off. Tidur.
Senin Selasa full di kantor, dari pagi hingga sore —sebenarnya ini juga maksain banget karena ada hal penting. Selasa malem, saya panas lagi, demam, nyeri, nggak beres aja badan. Rabu ke dokter lagi. Kena omelan karena wes dibilang istirahat saja sampai sembuh atau obatnya habis, malah pecicilan. Diberi resep dengan catatan kudu istirahat total sekurangnya tiga hari. Wes, Rabu Kamis Jumat saya rebahan gaya sultan, ora kerja. Semua urusan kerja saya skip. Zoom zoom bahkan breifing lomba-lomba. Ketemuan-ketemuan dengan kawan kerabat pun saya batalkan. Pokokmen saya mau sehat dulu. Meskipun tetep, sosmed ya kepegang lah…. namanya rebahan zaman sekarang, HP nggak ikut rebah 😀
Alhamdulillah, sehat. Sabtu pagi saya wes ngepit cukup jauh sekira 7 km pp atau ya 14 an km. Tangan sudah lentur, gerak cepat, kuat memegang, bisa menggenggam. Badan sudah enak segar bugar. Buat lelarian dan menyanyi keras-keras, wes bisa. Alhamdulillah. Malamnya saya bisa ikut halal bi halal di RT dari jam 19 an sd 22 an WIB dengan ikut aktivitas membantu ini itu, tanpa merasa ribet. Sehat itu memang nikmat.
Hal lain yang terjadi tahun ini yang mungkin akan jadi kebiasaan adalah saya menerima THR dan parsel wajib dari institusi saya menetap sebagai dosen. Hahah… dengar THR kayaknya asing banget bagi saya. Meskipun ini tahun ini besaran THR sekira 20% saja dari honor saya mengajar penulisan 2 jam, tetap saja saya gembira. Ora kerja opo-opo, dapat duit 🙂
Tentu lebaran ini juga saatnya saya memberikan THR pada orang-orang yang ngrewangi saya. Membagi angpao pada beberapa pihak. Alhamdulillah. Selain itu juga mengirimkan parsel-parsel pada semua pihak yang berada di sekitaran relasi, gaweyan, kerabat. Tetap saya syukuri semuanya. Alhamdulillah, meskipun tidak menetap bekerja di media, penerbit, atau PH, saya masih menerima angpao dan parsel dari mereka —hampir setiap tahun lebaran, termasuk tahun ini. Semua itu menandakan tempat-tempat saya bernaung sebagai freelancer masih solid secara ekonomi dan finansial.
Yach, semua peristiwa itulah yang menjadi lebaran tahun ini terasa nano nano atau gado gado bagi saya. Banyak rasanya. Banyak pengalamannya. Saya seperti diingatkan untuk lebih peka pada gejala kecil. Kadang yang sepele itu, nggak sesederhana yang kita kira. Tanda yang sama, tidak selalu referen sakit atau penyakit yang sama. Bisa saja berbeda, hanya gejalanya sama.
Wes, sekarang sehat alhamdulillah. Saya beneran bersyukur wes balik sehat. Bisa gaspol kalau sehat mau makan ini itu enak, tidur nyenyak, kerja juga tenang. Tetep semakin tambah umur, kudu lebih protektif pada tubuh fisik. Imun kita bisa saja kuat, tapi kalau penyerang kekebalan tubuh lebih bebal, tetap kita yang akan jatuh.
Dan percayalah, semua tahu. Sakit itu tidak enak. Makanya, sehat itu butuh investasi. Makan yang sehat, istirahat cukup, olga cukup, hati jiwa pikiran tenang, dekat dengan Tuhan, dll. Mati memang sudah takdir, umur sudah ditentukan. Tapi menjaga jiwa raga segar bugar sehat lahir batin adalah tugas kita masing-masing.
#kinoysanstory #selfreminder #sehat #segarbugar #happywriter #happywriting #happylife #lebaran
Ari Kinoysan Wulandari